Di tengah dinamika sosial yang semakin menuntut hak, kita sering lupa bahwa keseimbangan hanya tercapai ketika kewajiban dipikul dengan kesadaran yang sama kuatnya. Dalam tradisi Pagar Nusa organisasi bela diri di lingkungan Nahdlatul Ulama keseimbangan itu bukan konsep abstrak, melainkan laku harian yang nyata.
Para Santri PAGAR NUSA diajarkan bahwa hak bukan sesuatu yang harus diperjuangkan dengan suara tinggi, tetapi tumbuh sebagai konsekuensi dari kewajiban yang ditunaikan. Logika ini menempatkan kewajiban sebagai fondasi moral: semakin teguh seseorang menjalankannya, semakin layak ia menerima haknya. Inilah etika kesatria yang menolak sikap serba menuntut tanpa kontribusi.
Demikian pula relasi antara tugas dan cinta. Dalam kultur Pagar Nusa, tugas tidak berdiri sebagai beban administratif, tetapi sebagai bentuk pengabdian yang digerakkan oleh cinta: cinta kepada guru, tradisi, dan masyarakat. Tanpa cinta, tugas kehilangan makna; tanpa tugas, cinta menguap menjadi perasaan yang tidak membumi.
Keseimbangan hak–kewajiban dan tugas–cinta merupakan sumbangan penting Pagar Nusa bagi etika publik kita. Di tengah masyarakat yang mudah terbelah oleh kepentingan, nilai-nilai ini menawarkan pijakan moral yang lebih jernih: bahwa pengabdian mendahului tuntutan, bahwa kesetiaan lahir dari rasa syukur, dan bahwa kekuatan sejati terletak pada penguasaan diri, bukan pada dominasi.
Dalam konteks kehidupan berbangsa yang terus berubah, etika seperti inilah yang perlu dirawat: etika yang menempatkan tanggung jawab sebagai inti, bukan sekadar kehendak untuk diakui. Dari gelanggang latihan para santri, kita diajak untuk mengingat kembali bahwa keseimbangan bukanlah teori, tetapi keberanian untuk menata ulang diri sendiri.
Penulis : Saiful Anam/PC PAGAR NUSA KAB MALANG




