Dalam satu percakapan panjang dengan Ketua PC Pagar Nusa Kabupaten …, muncul gagasan sederhana namun sangat menentukan arah organisasi: kemajuan hanya hadir ketika kepentingan pribadi, golongan, dan organisasi ditata dengan benar.
Pernyataan yang disampaikannya begitu jernih:
“Kekuatan pendekar tidak hanya di tangan. Kekuatan sejati lahir dari kemampuan menertibkan diri dan menata kepentingan demi marwah organisasi.”
Di tengah dinamika organisasi modern yang kerap diseret ego, kalimat ini terasa sebagai pengingat penting bagi siapa pun yang terlibat dalam gerakan kebudayaan dan kebangsaan.
Tenaga Pribadi yang Harus Diiringi Adab
Tidak ada organisasi besar tanpa orang-orang yang kuat secara pribadi. Ambisi meraih prestasi, memperluas jaringan, dan meningkatkan kapasitas diri adalah hal wajar.
Namun dalam tradisi NU, adab selalu lebih tinggi daripada kepandaian.
Karena itu Ketua PC mengingatkan: prestasi penting, tetapi harus berjalan dalam koridor akhlaq. Di Pagar Nusa, kekuatan pribadi justru menjadi bermakna ketika ia dipadukan dengan niat yang bersih—sejalan dengan ajaran tazkiyatun nafs dalam tasawuf.
Golongan sebagai Dinamika, Bukan Pemecah
Pagar Nusa memiliki realitas sosial yang kaya: dari padepokan, komunitas latihan, hingga ragam gaya silat. Semua ini merupakan “otot” yang menggerakkan tubuh organisasi.
Tetapi, Ketua PC menegaskan:
“Golongan itu wajar, dinamika itu sehat. Tapi ketika kepentingan golongan menabrak jam’iyyah NU dan Pagar Nusa, di situlah masalah dimulai.”
Nilai-nilai NU—tawasuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal—menjadi alat kendali agar perbedaan tidak berubah menjadi pertentangan. Pagar Nusa tumbuh justru karena keberagaman, sejauh keberagaman itu tetap bernaung dalam rumah besar bernama NU.
Organisasi sebagai Tujuan Bersama Di atas kepentingan pribadi dan golongan, terdapat kepentingan organisasi. Inilah wilayah yang oleh para ulama disebut mashlahah ‘ammah—kemaslahatan bersama.
Bagi Pagar Nusa, kepentingan organisasi adalah:
- menjaga marwah NU,
- melanjutkan amanah para kiai dan masyayikh,
- menguatkan karakter pendekar berakhlaq,
- serta menjadi penjaga keamanan pesantren dan umat.
“Itulah,” kata Ketua PC, “mengapa kepentingan Pagar Nusa tidak bisa dilepaskan dari kepentingan NU, dan kepentingan NU selalu terkait dengan masa depan bangsa.” Di titik ini, Pagar Nusa bukan hanya organisasi silat, tetapi bagian dari ekosistem kebangsaan.
Menemukan Harmoni: Tenaga, Arah, dan Tujuan
Pagar Nusa mengajarkan bahwa tiga kepentingan—pribadi, golongan, dan organisasi—harus bersinergi. Secara sederhana: Kepentingan pribadi memberi tenaga, Kepentingan golongan memberi arah, Kepentingan organisasi memberi tujuan.
Tanpa tenaga, organisasi berhenti.
Tanpa arah, ia tersesat.
Tanpa tujuan, ia kehilangan makna.
Filosofi inilah yang membuat Pagar Nusa tetap tegak meski zaman berubah. Pendekar NU: Kuat, Benar, dan Bertanggung Jawab
Di tengah suasana sosial yang mudah retak oleh konflik kecil, Pagar Nusa menawarkan model kepemimpinan berbasis nilai. Seorang pendekar tidak cukup kuat; ia harus benar, beradab, dan bertanggung jawab.
Nilai itu dirumuskan melalui empat sifat: Sidiq – Amanah – Tabligh – Fatonah.
Keempatnya menciptakan kepemimpinan yang dipercaya, jernih, cerdas, dan berorientasi pada kemaslahatan. Inilah yang membuat Pagar Nusa bukan sekadar pergerakan bela diri, tetapi gerakan moral.
Sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, Pagar Nusa memikul peran historis: menjaga tradisi, merawat etika sosial, dan menjadi benteng kebangsaan. Organisasi tidak tumbuh hanya dengan kekuatan fisik, tetapi dengan nilai—nilai yang telah diwariskan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.
Pada akhirnya, menata kepentingan adalah cara merawat masa depan.
Dan masa depan Pagar Nusa, seperti masa depan NU dan bangsa ini, hanya akan kuat bila dibangun di atas akhlak, adab, dan kesadaran kolektif.
Penulis: Saiful Anam/Ketua PC Pagar Nusa Kabupaten Malang




