NUMALANG.ID, Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin al-Asy’ari. Al-Asy’ari sendiri sebenarnya adalah nisbat pada Asy’ar, nama seorang laki-laki dari suku Qahthan yang kemudian menjadi nama suku dan bertempat di Yaman. Dari suku ini pulalah Sahabat nabi Abu Musa al-Asy’ari lahir, salah satu sahabat terkemuka dan dikenal sangat alim di masanya, beliau juga tergolong salah satu fuqaha-nya para Sahabat. Beliau lahir di Yaman pada tahun 260 Hijriah, dan meninggal pada tahun 330 Hijriah.
Secara historis daerah kelahiran beliau ini, yaitu Yaman adalah sebuah daerah yang bisa dibilang cukup relatif lebih maju dibanding daerah-daerah lain di masa-masa awal Islam. Hal ini tentu juga menjadi salah satu variabel kunci nantinya terhadap karakter kultur para penduduk Yaman yang cenderung lebih mudah mematuhi dan menerima kebenaran di satu sisi, menaruh perhatian yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan serta selalu berfikir positif terhadap keadaan yang sedang dihadapi di sisi yang lain.[1]
Tidak hanya itu, di beberapa keterangan Hadis Shahih, Nabi menjelaskan beberapa keutamaan penduduk Yaman. Diantaranya adalah manakala Abu Musa al-Asy’ari akan datang beserta rombongannya dari suku al-Asy’ari, Nabi bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوبًا الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَصْحَابِ الْإِبِلِ وَالسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ وَقَالَ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Akan datang pada kalian semua penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang perasaan (sensitive) dan hatinya paling lembut, keimanan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman, angkuh dan sombong ada pada para penggembala unta, sedangkan ketenangan dan kewibawaan ada pada para penggembala kambing.”
Dari keterangan di atas tidak mengherankan jika setelah itu banyak sekali lahir dari tanah Yaman ulama-ulama terkemuka nan hebat di zamannya. Dan tidak aneh apabila di kemudian hari dari suku al-Asy’ari lahir seorang ulama dan imam besar di kalangan orang Islam sekaligus pemimpin Ahlusunnah wal Jamaah dalam memelihara Akidah murni ala Nabi dan para Sahabatnya, beliau adalah al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 Hijriyah. Beliau lahir dan tumbuh dikalangan keluarga yang sangat memegang erat paham Ahlusunnah wal Jamaah. Ayahnya bernama Ismail, seorang Ulama ahli Hadis yang menganut paham Ahlusunnah wal Jamaah. Hal ini terbukti bahwa di hari menjelang beliau meninggal, beliau berwasiat agar anaknya, al-Asy’ari sepeninggal beliau diasuh oleh al-Hafidz Zakariya al-Saji, seorang pakar Hadis dan Fiqh madzhab Syafi’i terkemuka di Basrah.[2] Semasa kecil selain belajar kepada ayahnya sendiri, beliau juga berguru kepada para ulam Ahli Hadist yang lain, diantaranya Khalaf al-Jahmi, Abu Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya’kub al-Muqri’, dan Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri.[3]
Hanya saja, setelah beliau berumur 10 tahun, hal yang tak terduga terjadi. Yakni hadirnya pengaruh baru dalam keluarga beliau, setelah wafat ayahnya, ibu al-Asy’ari menikah lagi dengan seorang pembesar madzhab Mu’tazilah, Abu Ali al-Jubba’i. setelah itu kehidupan al-Asy’ari berubah total, yang pada awalnya kental dengan nuansa Ahlusunnah wal Jamaah berubah menjadi Mu’tazilah di bawah indoktrinasi ayah tirinya itu. konon setalah itu sampai kurang lebih berumur 40 tahun beliau berpindah paham menjadi Mu’tazilah. Dan rupa-rupanya pengalaman beliau tumbuh di kalangan Mu’tazilah ini yang kelak menjadi bekal untuk mematahkan setiap argumentasi Muktazilah pada saat beliau telah terpanggil untuk membela Ahlusunnah wal Jamaah nantinya.
Setelah kurang lebih selama 40 tahun beliau bermadzhab Mu’tazilah, pada akhirnya beliau keluar dari ajaran tersebut untuk kemudian kembali kepada ajaran Ahlusunnah wal Jamaah. Latar belakang kembalinya al-Asy’ari terhadap Ahlusunnah wal jamaah seperti yang dikabarkan oleh Ibnu Asakir dan ulama yang lain bisa disimpulkan sekurang-kurangnya karena tiga hal:
Pertama, karena ketidakpuasan terhadap Mu’tazilah yang lebih mendewakan akal daripada naql. Ketidakpuasan ini bisa dilihat dari beberapa hal, di antaranya riwayat yang menyatakan bahwa sebelum al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, beliau sempat melontarkan beberapa pertanyaan pada gurunya divbeberapa pertemuan dan tidak menjadapati jawaban yang memuaskan hatinya, sehingga saat itu pikiran beliau dipenuhi kecamuk bingung atas keberanaran keyakinannya. Beliau bermadzhab Mu’tazilah lebih kurang selama 40 tahun dan sempat pula menjadi seorang imam di madzhab tersebut. Sebelum beliau keluar dari Mu’tazilah, beliau tidak keluar rumah selama lima belas hari, kemudian setelah lima belas hari, beliau keluar dari kediamannya menuju masjid Jami’, naik ke atas mimbar seraya berkata: “Wahai masyarakat! sesungguhnya aku beberapa hari ini menghilang dari hadapan kalian semua. Di masa tersebut aku merenung, meneliti dalil-dalil yang ada, akan tetapi aku tidak bisa menemukan antara yang benar dengan yang salah dan yang salah dengan yang benar. Namun setelah itu tuhan memberiku petunjuk terhadap keyakinan-keyakinan (I’tiqad) yang kesemuanya itu telah aku tuangkan dalam beberapa kitabku ini. Atas dasar itulah, sejak saat ini aku melepaskan diri dari keyakinan yang selama ini aku pegang, sebagaimana aku melepaskan diri dari jubahku ini” sembari itu beliau melepaskan jubah lalu melemparkannya. Kemudian kitab tadi oleh beliau disebarkan kepada orang-orang disekitar situ. Diantara kitab yang waktu itu beliau sebarkan adalah kitab al-Luma’ fii al-Radd’ ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida’, dan satu lagi kitab yang menguraikan kerancuan berpikir madzhab Mu’tazilah yaitu Kasyf al-Asrar wa Hatk al-Astar.
Manakala kitab tersebut sampai ke hadapan para pakar Hadist dan Fiqh dari kalangan Ahlusunnah wal Jamaah, mereka membaca, mempelajari dan segera meyakininya sebagai keyakinan yang benar, sepenarian dengan itu lantas menjadikan al-Asy’ari sebagai imam Ahlusunnah wal Jamaah dalam dimensi Akidah, bahkan menisbatkan madzhab Ahlusunnah kepada beliau.[4]
Pada kesempatan yang lain juga diriwayatkan satu kisah yang rupa-rupanya di kemudian hari melatarbelakangi dekonstruksi akidah yang dilakukan imam Asy’ari dari Mu’tazilah menuju Ahlusunnah wal Jamaah adalah ketidakpuasan beliau terhadap gurunya, Abu Ali al-Jubba’i yang terekam dalam dialog beliau berdua sebagai berikut:
Al-Asy’ari: “Bagaimana menurutmu mengenai nasib dari tiga orang berikut di akhirat nanti, satunya adalah orang mukmin, yang kedua orang kafir sementara yang ketiga adalah anak kecil?”
Al-Jubba’i: “Orang mu’min akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka, dan si anak kecil akan selamat.”
Al-Asy’ari: “Bisakah si anak kecil meminta derajat yang tinggi kepada tuhan?”
Al-Jubba’i: “Tentu tidak bisa, karena tuhan akan berkata pada si anak: “Orang mu’min tadi memperoleh derajat yang tinggi sebab amalnya, sedangkan kamu sudah meninggal di masa belia yang berarti kamu belum sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa mendapat derajat itu.”
Al-Asy’ari: “Lantas bagaimana jika kemudian si anak kecil itu menggugat pada tuhan: “Tuhan, demikian itu sebenarnya bukanlah salahku, seandainya engkau memberiku umur yang lebih panjang, niscaya aku akan beramal seperti orang mu’min itu.”
Al-Jubba’i: “Tetap tidak akan bisa, tuhan akan menjawab: “Oh, bukan demikan, oleh karena aku telah mengetahui jika kamu diberikan umur yang lebih panjang, kamu akan durhaka padaku, dan itu akan membuatmu disiksa nantinya. Oleh karenanya, demi menjaga nasibmu di masa mendatang, aku mematikanmu sewaktu masih kecil sebelum memasuki masa takli.f”
Al-Asy’ari: “Jika demikian maka bagiamana jika orang kafir itu juga menggugat pada tuhan: “Tuhan, engkau telah mengetahui masa depan si anak kecil itu, pun pula masa depanku, lalu jika engkau mematikan anak kecil itu di waktu belianya dengan alasan jika ia tumbuh dewasa akan berbuat dosa, maka, mengapa engkau tidak mematikanku di waktu kecil, padahal engkau tahu tatkala aku dewasa aku akan menjadi orang kafir dan akhirnya disiksa seperti ini?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, membuat al-Jubba’i terdiam menghadapi kebuntuan dan ketidak mampuan untuk menjawab, sehingga ia hanya bisa menanggapi dengan berkata.
Al-Jubba’i: “Kamu hanya bermaksud merusak terhadap keyakinan yang ada.”
Al-Asy’ari: “Aku tidak bermasuk untuk merusak keyakinan yang sudah ada selama ini, tapi engkau tidak bisa menjawab pertanyaanku.”
Kedua, bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Kisah itu dimulai pada permulaan bulan Ramadhan, al-Asy’ari tertidur dan bermimpi melihat Rasulullah. Beliau berkata: “Wahai Ali, tolonglah pendapat-pendapat yang telah diriwayatkan dariku, karena sesungguhnya itulah yang benar.” Setelah terbangun, al-Asy’ari merasakan sesuatu yang amat menghawatirkan dan beliau terus memikirkan apa yang dimimpikannya itu. Hingga pada saat bulan Ramadhan memasuki pertengahan, beliau bermimpi lagi bertemu dengan Rasulullah. Beliau berkata kepadanya: “Apa yang telah kau perbuat terhadap perintahku?” al-Asy’ari menjawab: “Wahai Rasulullah aku tidak melakukan apa-apa, dan sungguh aku telah tampil dengan membela pendapat yang diriwayatkan darimu, aku juga telah mengikuti dalil-dalil yang benar dan layak untuk dinisbatkan pada tuhan yang maha suci nan agung” setelah itu Rasulullah kembali berkata kepada al-Asy’ari: “Tolonglah pendapat yang diriwayatkan dariku, karena sesungguhnya itulah yang benar.” Cerita itu berlanjut dengan terbangunnya al-Asy’ari yang dipenuhi rasa terbebani karena adanya mimpi itu. Pada akhirnya beliau memilih untuk berhenti mempelajari ilmu Kalam untuk kemudian fokus dalam mengikuti Hadist dan senantiasa membaca al-Qur’an. Selang beberapa lama, tepatnya diakhir bulan, yaitu pada malam 27 Ramadhan di mana sudah menjadi sebuah kebiasaan di kota Bashrah adalah para ahli Qiraah dan ahli Ilmu berkumpul untuk menghatamkan al-Qur’an. Di antara yang mengikuti acara tersebut adalah al-Asy’ari, sesaat beliau merasa terserang kantuk yang sangat kuat, dan memutuskan untuk pulang ke kediamannya. Al-Asy’ari pulang dipenuhi rasa sesal di dadanya karena tidak bisa mengikuti sampai selesai hataman al-Qur’an pada malam itu. Dalam tidurnya, al-Asy’ari bermimpi kembali bertemu dengan Rasulullah, beliau berkata padanya: “Apa yang telah kamu perbuat terhadap perintahku?” al-Asy’ari menanggapinya dengan berkata: “Aku telah meninggalkan ilmu Kalam, dan sebagai gantinya aku senantiasa mengikuti al-Qur’an dan Sunnahmu” Nabi berkata: “Aku tidak memerintahmu untuk meninggalkan ilmu Kalam, tetapi aku memerintahmu untuk menolong pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena sesungguhnya itulah yang benar” al-Asy’ari menjawab: “Bagaimana bisa aku meninggalkan madzhab yang telah aku ketahui masalah-masalah dan dalil-dalilnya selama kurang lebih 30 tahun hanya karena sebuah mimpi” Rasulullah lalu menjawabnya: “jika seandainya aku tidak mengetahui bahwa Allah akan memberikan pertolongan kepadamu dari sisi-Nya, maka aku tidak akan ada disini untuk memberi penjelasan masalah-masalah (ajaran Mu’tazilah) dan seakan-akan kamu menganggap pertemuan denganku ini hanya sebatas mimpi tanpa arti, atau bahkan pertemuanku dengan malaikat Jibril juga hanya sebatas mimpi. Ketahuilah sesungguhnya engkau tidak akan bertemu lagi denganku dalam membincang permasalahan ini, oleh karena itu maka bersungguh-sungguhlah, karena sesungguhnya Allah akan memberi pertolongan kepadamu dari sisi-Nya.” Setelah kejadian itu al-Asy’ari terbangun kemudian berkata: “Tidak ada setelah kebenaran kecuali kesesatan.” Lalu dia mulai mempelajari Hadist-hadist perihal melihat Allah nanti di akhirat, Syafaat, dan lain-lain. Selepas itu al-Asy’ari merasa mendapat sebuah pemahaman yang sebelumya tidak pernah ia dengar dan baca dari kitab manapun juga. Ia kemudian menyadari bahwa itu semua merupakan sebentuk pertolongan dari Allah yang maha suci terhadap dirinya yang disampaikan melalui Rasulullah SAW.[5]
Ketiga, kecemasan al-Asy’ari terhadap masa depan umat islam dan ajarannya. Di samping dua alasan di atas, terdapat satu alasan lagi yang diduga kuat dalam melatarbelakangi berpindahnya al-Asy’ari dari madzhab Mu’tazilah, adalah kekhawatiran al-Asy’ari akan masa depan ajaran islam yang waktu itu didominasi oleh dua madzhab besar—yang dalam hemat beliau— jika dibiarkan akan membawa dampat buruk terhadap masa depan agama islam. Dua aliran yang dimaksud adalah Mu’tazilah sebagai madzhab dominan dan aliran ahli Hadist serta Musyabbihah sebagai madzhab pembanding.
Dua kelompok ekstrimis di atas, dengan bangunan epistemologinya yang saling berlawanan, di mana Mu’tazilah mengusung konsep dominasi akal daripada nash (ekstrim kiri), sedangkan ahli Hadis dan Musyabbahah membawa konsep dominasi Nash daripada Akal (ekstrim kanan), cenderung akan mengawal masa depan ajaran islam ke pintu kehancuran jika hanya mendewakan akal, dan pintu kejumudan serta kelemahan jika hanya mendewakan Nash.
Di tengah-tengah kontras intelektual antara dua aliran di atas, itulah yang kemudian memacu al-Asy’ari untuk merumuskan satu konsep baru yang moderat sebagai sebuah jalan tengah antara Mu’tazilah dan Ahli Hadist. Oleh karena itu muncullah al-Asy’ari di permukaan dan di tengah-tengah gelanggang pergulatan tadi dengan membawa model ajaran yang tidak sama sekali mendeskriminasi akal maupun nash, namun cenderung menggabungkan antara keduanya.[6]
Daftar Pustaka
[1] Abu al-Hasan Ali al-Hasani al-Nadwi, al-Sirah al-Nabawiyah, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1984), hal. 56.
[2] Al-Hafidz ibn Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, cetakan II, (Damaskus: Al-Taufiq, 1347 H), hal. 35.
[3] Tajuddin al-Subki, Tabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), hal. 347.
[4] Al-Hafidz ibn Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari., hal. 38-40.
[5] Ibid., hal.40-41.
[6] Hammudah Gharrabah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, (Kairo: Majma’ al-Buhust al-Islamiyyah, 1973), hal. 66.
Biodata Penulis
Lingga Fahrurrosi bin Abdul Hamid, anak kedua dari 3 bersaudara lahir pada 23 Maret 2001 dari seorang keluarga petani di ujung selatan kabupaten Malang Jawa Timur tepatnya di Desa Tawangagung, Kecamatan Ampelgading. Saat ini sedang menimba Barakah di Pondok Pesantren Miftahul Ulum putra, Ganjaran, Gondanglegi, Malang. Pendidikannya dimulai dengan terseok-seok di SDN Tawangagung 02, tempat dimana dia dilahirkan. Kemudian pada tahun 2013 dengan tekad dan penuh pasrah diri kepada tuhan berangkat nyantri di Pondok Pesantren Miftahul Ulum putra, Ganjaran, Gondanglegi Malang hingga detik ini. Pernah belajar di Universitas Al-Qolam Malang hingga menyelesaikan pendidikan strata satu di sana pada akhir tahun 2023.
Disamping kesibukannya sebagai santri, penulis saat ini juga aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, khususnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Kabupaten Malang. Selain essai penulis juga menulis beberapa catatan lain yang sudah diterbitkan di beberapa platform digital maupun non digital dengan mayoritas tajuk seputar studi Islam dan ke-Pesantrenan. kritik dan saran dapat dialamatkan ke: [email protected]