Senin, September 23, 2024
spot_img

Merajut Kembali Kemandirian Madrasah

Oleh: Dr. Ahmad Faizi, M.Li. (Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Jombang)

Kemendirian menjadi cita-cita semua pihak, tidak terkecuali warga madrasah. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan kemandiriannya. Para pengelolah pendidikan yang ada di bawah lingkungan madrasah merencanakan, melakukan dan bahkan terus mengembangkan pelbagai upayanya untuk mencapai kemandirian madrasahnya. Demikian juga pesantren sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari madrasah—disadari atau tidak—terus merencanakan dan melakukan upaya mewujudkan kemandiriannya. Berbagai upaya tersebut bisa jadi didorong oleh adanya anggapan bahwa madrasah sebagai pendidikan kelas dua[1] atau mungkin mereka baru menyadari kekhasan mereka sebagai sebuah kekayaan yang bernilai unggul[2].

Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan memiliki kekhasan jika dibanding dengan pendidikan yang lain. Sekilas kita melihat, banyak madrasah yang ada di bawah naungan ataupun binaan kementerian agama memiliki semboyan “madrasah mandiri berprestasi”. Mereka bangga dengan semboyan tersebut karena “kemandirian” dianggap sebagai prestasi dan leluhuran yang harus diraih bahkan diperjuangkan. Fenomena tersebut dapat kita lihat di seantero nusantara ini. Mereka sudah mulai bangga dengan kekhasan yang mereka miliki. Buah dari kebangga tersebut, mereka mulai mempublikasikan kekhasan madrasa di berbagai media, baik on-line maupun cetak.

Kemandirian madrasah salah satunya dapat dilihat pada kemandirian kurikulum yang mereka gunakan. Pertama, ada sebagian madrasah yang kurikulum utamanya disandarkan pada kekhasan pesantren (banyak yang menyebutnya sebagai madrasah Diniyah). Madrasah Diniyah ada yang diselenggarakan di lingkungan pesantren dan ada yang di luar pesantren. Sejauh ini, banyak torehan prestasi yang sudah dicapainya. Kitab kuning sebagai kurikulum utama menjadi unggulan yang sangat langka atau bahkan hampir tidak dapat kita temukan di luar pesantren. Selain itu, kompetensi santri (peserta didik) yang memiliki kemampuan membaca dan memahami kitab kuning sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan negara. Petunjuk tentang bagaimana beragama yang baik dan benar, bagaimana bermasyarakat yang baik dan benar banyak digali dari kitab-kitab rujukan utama tersebut, dan hanya mereka yang memiliki kompetensi yang mampu membaca dan memahaminya.

Kedua, ada ribuan madrasah formal yang terdaftar di Kementerian Agama. Ribuan madrasah tersebut tidak sekedar mengikuti kurikulum yang diamanahkan pemerintah, lebih dari itu mereka (para pengelolah) juga mengintegrasikan kurikulum yang diamanahkan pemerintah dengan kekhasan lokal atau kelompok di mana mereka berada dan berasal. Penekanan pada pembentukan sikap (afektif) dan mengasah keterampilan (psikomotorik) sudah pasti dan rutin dilakukan di madrasah. Namun demikian, mereka tidak meninggalkan aspek pengetahuan yang harus dikuasai, justru dengan mengedepankan aspek sikap dan keterampilan mereka meyakini bisa memaksimalkan pencapaian penguasaan pengetahuan.

Selain itu, beragam kekhasan budaya tersaji dan terbentang di lingkungan madrasah. Warga madrasah memiliki kekhasan di dalam menghormati atau memberikan penghormatan kepada orang lain. Ada beragam bentuk penghormatan santri (peserta didik) kepada gurunya (kiai), salah satunya ketika bersalaman mencium tangan kiai, tidak berjalan berkendara mendahului kiai, tidak bersuara lebih keras dari kiai, dan berbagai bentuk penghormatan yang lain. Warga madrasah juga memiliki kekhasan di dalam berpakaian. Mereka merasa perlu memilih dan memakai jenis pakaian tertentu agar dapat dianggap sebagai bagian dari madrasah, misalnya: dibeberapa daerah ada yang mengharuskan memakai rok bagi perempuan, memakai baju lengan panjang, memakai songkok bagi yang laki-laki dan memakai kerudung bagi perempuan. Semua itu menjadi konvensi dan berlangsung sebagai kekhasan pendidikan madrasah baik yang ada di lingkungan maupun di luar pesantren. Hadirnya pemerintah sudah semestinya mengakomodasi nilai-nilai yang sudah berlangsung sekian lama tersebut, bukan mengubah atau mengikisnya. Itulah salah satu bentuk Kemandirian budaya madrasah.

Beragam gambaran kemandiri tersebut membuktikan bahwa Madrasah sangat dibutuhkan bukan membutuhkan. Masyarakat membutuhkan madrasah untuk menjaga dan terus membangun nilai-nilai melalui pendidikan yang khas yang ada di pesantren maupun di luar pesantren. Demikian juga pemerintah sudah pasti harus mengakui kontribusi madrasah di dalam membangun bangsa di segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, warga madrasah perlu terus menjaga dan meningkatkan kepercayaan dirinya agar terus aktif bahkan agresif untuk berkontribusi di dalam pembangunan bangsa, salah satunya dengan terus mempublikasikan berbagai kekhasan yang ada dengan beragam media agar semakin memaksimalkan peran dan kontribusi madrasah.

Catatan

[1] Banyak pihak yang menganggap Madrasah sebagai pendidikan kelas dua (Alawiyah, 2014)

[2] Menurut Villegas kekhasan sebagai keunggulan dapat menjadi modal untuk mewujudkan pembelajaran dan pendidikan yang ideal (Villegas, 1991)

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
-- advertisement --spot_img

Jangan Lewatkan

Terkini