Jumat, September 20, 2024
spot_img

Kembali ke Khittah 1926 NU “Meneguhkan Peran Politik Kebangsaan dan Etika Berpolitik”

NUMALANG.ID.-Hingar bingar pesta demokarsi lima tahunan yaitu pemilu presiden dan legislatif baru saja berlalu, dengan meningalkan banyak dinamika mulai dari dugaan adanya kecurangan, ketidak netralan aparat dan lain-lain. Belum selesai terkait pembahasan dugaan-dugaan tersebut dibulan november kita akan menyambut lagi gelaran pemilihan umum kepala daerah tingkat kabupaten, kota dan provinsi (Pemilukada). Dalam setiap gelaran pemilu semua berlomba untuk menarik simpati pemilih baik individu maupun yang terafiliasi dengan organisasi-organisasi Agama atau kemasyarakatan tidak terkecuali NU. Alfakir mencoba merangkum dari berbagai sumber  terkait bagaimana peran Nahdhatul Ulama dalam pemilu di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui  Nahdlatul Ulama (NU) adalah  organisasi Islam terbesar di Indonesia, yang anggotanya mencapai puluhan juta orang yang tersebar dari sabang sampai merauke. Dengan jumlah anggota yang begitu besar tentu saja menjadikan NU sebagai bahan rebutan oleh partai politik untuk mendulang suara ataupun memenangkan calonnya dilegislatif maupun eksekutif.  NU sejak didirikan satu abad yang lalu memiliki pengaruh besar dan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan Berbangsa dan Bernegara termasuk politik. Meskipun Nahdlatul Ulama (NU) pada awal didirikan memang sebagai organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) bukan organisasi politik. Namun kiprah para kiai-kiai NU dan para kadernya dalam percaturan politik selalu memberikan warna dengan tujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa, menegakkan NKRI, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Semangat ini diwujudkan melalui praktik politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik yang dikenal sebagai “politik tingkat tinggi” (siyasah ‘aliyah samiyah) Nahdlatul Ulama.

Sejarah NU dan Keterlibatan dalam Politik dimulai pada masa awal kemerdekaan, NU sempat terlibat dalam politik praktis dengan mendirikan partai politik. Hal tersebut banyak menimbulkan kebingungan dikalangan umat, karena sulit membedakan NU sebagai partai politik atau sebagai organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah). Puncak dari keresahan itu akhirnya terjawab pada mukhtamar ke-27 tahun 1984 di situbondo jawa timur, dimana NU memutuskan kembali ke khitah 1926, dan diperkuat dengan hasil muktamar ke 28 tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Alasan Kembali ke Khittah 1926 adalah dilatarbelakangi oleh kekhawatiran bahwa keterlibatan NU dalam politik praktis menggeser fokus organisasi dari pengabdian kepada umat menjadi fokus ke politik. Hal ini dikhawatirkan dapat menurunkan kadar perjuangan NU dan memicu perpecahan internal.

Kembalinya NU kepada khittah 1926 dimulai dengan diluncurkannya gagasan Politik Tingkat Tinggi NU yang digagas oleh K.H. Mohammad Achmad Sahal Mahfudh yaitu untuk menegaskan peran NU dalam politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik. Politik ini bertujuan menjaga Khittah 1926 dan melestarikan nilai-nilai luhur NU. Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, merumuskan sembilan pedoman berpolitik bagi warga NU. Pedoman ini menekankan akhlaqul karimah, baik dalam etika sosial maupun norma politik. Pedoman Berpolitik ini menjadi panduan bagi warga NU dalam menggunakan hak politik mereka secara benar dan bertanggung jawab, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945. Prinsip Politik NU yaitu Politik berwawasan kebangsaan, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, serta bertujuan mencapai masyarakat adil dan makmur, politik NU juga berlandaskan nilai-nilai kemerdekaan, demokrasi, dan akhlakkul karimah.

Sebagai pengingat berikut adalah Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU:

  1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.
  2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
  3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
  4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
  6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
  7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
  8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
  9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Penutup:

Kembalinya NU ke Khittah 1926 menegaskan komitmen organisasi dalam politik kebangsaan dan etika berpolitik. Sembilan pedoman berpolitik menjadi panduan bagi warga NU dalam menjalankan hak politik mereka dengan penuh tanggung jawab dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Bangsa. Peran NU dalam politik kebangsaan dan etika berpolitik sangatlah penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, menegakkan nilai-nilai Pancasila, dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Juga sebagai pengingat bagi seluruh kader NU baik yang ada distruktural maupun yang kultural untuk tidak membawa NU dalam ranah politik praktis yang bisa menimbulkan perpecahan. Wallohu A’lam Bishawab.

Penulis: M. Wahid Cahyana

Ketua Ranting Gerakan Pemuda Ansor Desa Watugede Kecamatan Singosari

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
-- advertisement --spot_img

Jangan Lewatkan

Terkini