Rabu, November 27, 2024
spot_img

Sekelumit Pelajaran dari Bilal bin Rabah

Oleh: Muhammad Wafiq

NAMA Bilal bin Rabah tentu tak asing bagi kita umat Islam. Sosok sahabat Nabi Muhammad SAW yang merupakan seorang budak kulit hitam keturunan Afrika. Bilal lahir 43 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ia dilahirkan dari pasangan Rabah dan Hamamah yang juga seorang wanita berkulit hitam.

Bilal kecil tumbuh besar di tengah-tengah keluarga Bani Abdul Dar. Sebelum ayahnya meninggal dan ia diserahkan kepada salah seorang pembesar Quraisy saat itu yaitu Umayyah bin Khalaf.

Agama Islam seolah menjelma sebagai oase yang muncul di tengah-tengah panasnya gurun yang sedang meliputi akidah orang-orang Quraisy saat itu. Hanya orang yang berfikir jernih dan mendapat petunjuk dari Allah lah yang mampu melihat oase tersebut.

Agama yang pernah dibawa oleh bapak para nabi ke kota Makkah tersebut saat itu menjadi agama asing yang mereka anggap sebagai ancaman untuk keyakinan yang bertahun-tahun mereka yakini kebenarannya, yaitu menyembah berhala.

Dari lubuk hati mereka yang paling dalam sebenarnya menerima ajaran tersebut, tapi kecongkakan dan dorongan hawa nafsu yang begitu kuat mengalahkan nurani mereka. Mungkin juga hidayah belum datang untuk sebagian dari mereka, walaupun sebagian yang lain sudah membukakan hati mereka untuk menerimanya.

Salah satu orang yang mendapat pancaran cahaya dari ajaran yang dibawa oleh seorang lelaki yang oleh kaumnya terkenal dengan sifat amanahnya tersebut adalah Bilal bin Rabah. Sayangnya Bilal adalah seorang budak, meski hatinya ia serahkan sepenuhnya kepada Allah sebagai Tuhannya. Tetapi tubuhnya tetaplah milik tuannya yaitu Umayyah bin Khalaf.

Umayyah begitu murka mendengar bahwa budaknya tersebut meyakini ajaran baru yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Ajaran yang menjadikan Allah adalah satu-satunya dzat penguasa dan pemilik alam semesta. Ajaran yang sebenarnya dulu bapak para nabi yaitu Ibrahim AS telah membawanya ke tempat yang sekarang mereka diami.

Umayyah bergegas menemui Bilal untuk menanyakan perihal kebenaran berita tentang dirinya. Setelah mengetahui bahwa Bilal memang sudah beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Ia memberi hukuman berat kepada Bilal bahkan bisa dibilang menyiksanya hanya agar kembali kepada ajaran nenek moyangnya yang selama ini diyakininya.

Umayyah dan kawan-kawannya menyiksa Bilal tanpa ampun seakan-akan Bilal bukanlah manusia. Bilal dipukuli hingga babak belur, namun itu sama sekali tidak membuat keyakinannya akan tuhan yang ahad memudar. Kemudian Umayyah menyeretnya secara paksa berkeliling kota, diikat pada tanah yang kering menghadap terik sinar matahari yang garang, tanpa diberi makan dan minum.

Saat matahari tepat di atas kepala, dimana jilatan panasnya membuat padang pasir begitu panas seakan menjelma sebagai neraka yang ada di dunia. Umayyah memakaikannya baju besi, hingga hawa panas semakin bertambah panas dalam tubuhnya. Tapi hal itu sama sekali tidak mempengaruhi keadaan hatinya, malahan kesejukan semakin merasuk dari dalam kalbunya karena tetesan embun tauhid yang sudah mulai terbendung dalam rohaninya.

Tidak cukup di situ saja, sesudah memakaikan baju besi, Umayyah mencambuk Bilal dengan cemeti dan menaruh sebongkah batu besar di dada budak tersebut hingga tulang iganya patah dan sulit bernafas.

Perlakuan kejam Umayyah tak lantas menggoyahkan keimanan Bilal, meski dipaksa untuk mengakui berhala-berhala sebagai tuhan, dalam gemingnya di tengah penyiksaan ia tetap mengeluarkan kata “Ahad…. Ahad….. Ahad…..”.

Dengan lidah yang keluh di ujung nyawa, ia tetap menyebut nama Tuhannya. Ia percaya bahwa Allah tidak akan meninggalkannya dalam kesendirian di tengah derita yang dilakukan orang-orang dzolim kepadanya. Allah pasti akan membebaskan dan menolongnya dengan sebaik-baik pertolongan.

Hingga saatnya pun tiba, Allah mendatangkan pertolonganNya kepada Bilal melalui Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. Ketika ia mendengar kabar tentang penyiksaan yang menimpa Bilal di padang pasir.

Sahabat Abu Bakar kemudian bergegas mendatanginya lantas berniat membeli Bilal dan membebaskannya dari perbudakan. Mendengar tujuan Abu Bakar tersebut, Umayyah berusaha memanfaatkan kesempatan, ia lantas menawarkan harga jual Bilal yang begitu besar, yaitu 10 dirham emas.

Tanpa berfikir panjang, Abu Bakar pun menyanggupi permintaan Umayyah. Bilal pun sepenuhnya sudah menjadi milik Abu Bakar. kemudian Abu Bakar memerdekakannya dari status budak. Ia pun menjadi manusia merdeka sepenuhnya yang taat kepada Allah dan termasuk golongan orang-orang yang pertama kali masuk Islam.

Dari kisah Bilal ini kita bisa mengambil pelajaran tentang keteguhan sikap yang perlu diteladani dari beliau. Meski siksaan dan derita bertubi-tubi menimpa, ia tetap kokoh memegang prinsip keimanannya yang bisa dibilang masih seumur jagung itu.

Pun demikian sepatutnya bagi kita sebagai seorang pemuda. Janganlah tergoyahkan oleh faktor eksternal yang sebenarnya hanyalah sebuah angin kecil di musim kemarau, berlalu begitu saja. Sebagai generasi penerus bangsa yang membawa tonggak harapan di masa depan, sudah seharusnya kita memperkuat iman taqwa kita kepada Allah.

Berpegang kuat dengan prinsip-prinsip yang dapat membuat kita lebih baik lagi, serta mampu bersabar atas semua arang lintang di jalanan yang kita lalui. Janganlah menjadi pemuda yang mudah menyerah, hanyut terbawa arus kehidupan, serta lemah logika dalam menyikapi setiap peristiwa. Semoga bermanfaat. (*)

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
-- advertisement --spot_img

Jangan Lewatkan

Terkini