Literasi digital bukan sekadar menguasai perangkat, melainkan fondasi perilaku belajar yang bertanggung jawab sejak jenjang sekolah dasar. Di usia dini, pembiasaan verifikasi informasi, etika berkomunikasi daring, dan pengelolaan jejak digital akan membentuk karakter pembelajar yang kritis, empatik, serta siap menghadapi tantangan banjir informasi di era digital.
Di banyak rumah dan ruang kelas, gawai telah menjadi bagian dari keseharian anak. Namun, kedekatan dengan teknologi tidak otomatis berbanding lurus dengan kecakapan literasi digital. Anak bisa lincah mengoperasikan aplikasi, tetapi belum tentu mampu memilah informasi, memahami konteks, atau berinteraksi secara santun. Karena itu, sekolah dasar memiliki peran strategis: menanamkan nilai, kebiasaan, dan keterampilan literasi digital yang menyatu dengan proses belajar, bukan sekadar pelajaran tambahan.
Pembelajaran literasi digital di SD membantu siswa terbiasa menilai sumber, memahami konteks, dan berkolaborasi secara positif melalui media digital. Ketika tata krama digital dipadukan dengan kemampuan teknis dasar, proses belajar menjadi lebih inklusif, menyenangkan, dan relevan dengan kehidupan nyata baik di kelas maupun di rumah. Di sinilah literasi digital bekerja sebagai fondasi, bukan aksesori.
Pertama, verifikasi sumber sejak dini. Akses informasi kini melimpah, tetapi keandalan sumber sering kali diabaikan. Anak-anak perlu dikenalkan pada rutinitas sederhana namun konsisten: memeriksa siapa penulisnya, kapan dipublikasikan, dan apakah informasi tersebut selaras dengan sumber tepercaya lain. Guru dapat mengemasnya dalam kegiatan harian misalnya “cek tiga langkah” yang dilakukan sebelum tugas dikumpulkan. Pendekatan ini tidak menakutkan, justru menumbuhkan rasa ingin tahu dan sikap berhati-hati yang sehat.
Kedua, bahasa dan sikap dalam interaksi daring. Ruang digital adalah ruang sosial. Karena itu, pembelajaran perlu menekankan bahasa sopan, nada tenang, serta penghargaan terhadap pendapat orang lain. Anak diajak memahami bahwa perbedaan pandangan bukan alasan untuk menyerang pribadi. Aturan diskusi kelas yang jelas baik luring maupun daring akan menjaga suasana tetap konstruktif. Dengan pembiasaan, anak belajar bahwa empati dan etika berlaku di mana pun, termasuk di layar.
Ketiga, literasi kritis untuk mengenali hoaks. Konten sensasional kerap dirancang untuk memancing emosi. Di sinilah literasi kritis diperlukan. Siswa dapat diajak mengenali ciri-ciri judul berlebihan, gambar yang menyesatkan, atau narasi yang tidak menyertakan sumber. Ketika ragu, bertanya kepada guru menjadi langkah yang dihargai, bukan dicela. Diskusi kelas tentang contoh berita disesuaikan dengan usia akan menguatkan kemampuan analitis sekaligus membangun budaya klarifikasi.
Penulis : Solikhan/Kontributor




