NUMalang.id – Islam pedesaan selama ini kerap dicap sebagai corak keberagamaan yang “tradisional”, tertinggal, bahkan identik dengan praktik bid’ah. Pandangan tersebut muncul seiring maraknya ceramah keagamaan di televisi dan media sosial yang menonjolkan pendekatan tekstual dan mengedepankan pertanyaan, “Apa dalilnya?” Namun, di balik anggapan itu, kehidupan keagamaan masyarakat desa justru menyimpan kekhasan: tradisi Islam yang membumi, luwes, dan sarat nilai adi luhung.
Di tengah perdebatan soal dalil dan legitimasi praktik keagamaan, masyarakat muslim pedesaan memiliki pendekatan yang jauh lebih sederhana. Mereka tidak merasa perlu menghafal ayat atau hadis untuk menjalankan ibadah. Sebaliknya, mereka menempatkan ulama atau kyai sebagai figur rujukan utama yaitu sosok berilmu, berwibawa, dan memahami kondisi sosial masyarakat desa.
Kyai sebagai Rujukan: Mengajarkan Agama dengan Kearifan
Para kyai desa memahami bahwa tidak semua umat memiliki kapasitas menguasai ilmu agama secara mendalam. Karena itu, pendekatan mereka bertumpu pada keteladanan dan nilai kemanusiaan, bukan tuntutan hafalan dalil. Kyai hadir dengan kesabaran, keikhlasan, dan kemampuan “ngopeni umat” merangkul, mendengarkan, dan mengarahkan tanpa menghakimi.
Pandangan ini selaras dengan catatan Martin van Bruinessen dalam Indonesia’s Ulama and Politics (1990), yang menyebut kyai sebagai “akademisi yang mungkin tidak belajar disiplin Islam secara formal, namun memiliki pengetahuan mendalam dan komitmen kuat terhadap agama.” Kyai kampung memainkan peran itulah: mengajarkan Islam secara hidup, melalui teladan, laku sehari-hari, dan kedekatan sosial dengan masyarakatnya.
Pengabdian mereka tampak nyata: mulai dari mengajari warga yang tak mengenal huruf Arab hingga lancar membaca Al-Qur’an, memperkenalkan konsep taharah, hingga membimbing shalat. Mereka menjadi pilar tegaknya risalah Nabi di tingkat paling dasar.
Tradisi Keagamaan yang Mengakar
Kehidupan beragama masyarakat pedesaan sangat kuat diwarnai adab, tenggang rasa, dan tradisi. Tahlilan misalnya, menjadi salah satu praktik keagamaan paling melekat dan terus diwariskan lintas generasi. Bagi masyarakat desa, mengikuti anjuran kyai dalam hal tradisi keagamaan bukan sekadar rutinitas, tetapi bagian dari penghormatan dan kepatuhan.
Walau sebagian warga lanjut usia tidak mahir membaca, mereka hafal berbagai surat Al-Qur’an seperti Yasin, Ar-Rahman, Al-Mulk, serta berbagai bacaan maulid, barzanji, hingga manakib. Kebiasaan mendengar dan mengikuti bacaan secara berjamaah membuat mereka fasih melafalkan doa-doa tersebut tanpa harus membuka kitab.
Hampir setiap hari kegiatan keagamaan berlangsung. Dalam sepekan, agenda masyarakat bisa penuh: tahlilan, istighosah, sholawatan, manakiban, majelis taklim, hingga ziarah kubur. Ditambah peringatan hari-hari besar Islam yang kerap dirayakan dengan meriah dan penuh syukur.
Yang menarik, padatnya kegiatan tradisi tidak pernah dianggap beban. Justru menjadi ruang silaturahmi, wujud syukur, dan cara memuliakan Rasulullah SAW. Bagi mereka, mencintai Nabi tidak perlu menunggu dalil. Cinta cukup diwujudkan melalui sholawat dan kebiasaan baik yang diwariskan para wali dan ulama.
Kyai sebagai Pusat Konsultasi dan Wasilah Doa
Dalam keseharian, kyai tidak hanya menjadi guru agama. Mereka juga menjadi rujukan utama ketika masyarakat menghadapi musibah, sakit, atau persoalan hidup lainnya. Sowan kepada kyai untuk meminta doa atau arahan menjadi tradisi yang melekat. Bagi masyarakat desa, kedekatan dengan orang saleh menghadirkan ketenangan dan keyakinan bahwa doa mereka lebih mudah diijabah.
Kyai menjadi “pintu wasilah” penghubung spiritual antara harapan masyarakat dan pertolongan Allah SWT. Di tangan kyai, ajaran agama dijelaskan dengan hikmah, termasuk keutamaan amalan seperti tahlil dan sedekah. Penjelasan yang teduh itu meneguhkan iman, melahirkan kepekaan sosial, dan mendorong umat untuk terus berbuat kebaikan.
Menjaga Warisan Ulama dan Wali Songo
Kehidupan keagamaan masyarakat pedesaan sesungguhnya merepresentasikan ruh Islam Nusantara: luwes, berakar pada tradisi, dan tetap selaras dengan nilai dasar ajaran Islam. Tradisi yang diwariskan para wali songo dan dipelihara oleh para ulama dan kyai terus hidup dalam keseharian umat, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Di tengah dinamika zaman, masyarakat muslim pedesaan bersama para kyai tetap menjaga tradisi keagamaan dengan penuh keteguhan. Bagi mereka, tradisi bukan sekadar budaya, melainkan jalan untuk merawat iman, memperkuat kebersamaan, dan memuliakan ajaran Rasulullah SAW.
Kontributor: Abdul Aziz Syafi’i, S. Hi. , ketua LESBUMI PCNU Kabupaten Malang, penggagas Ngaji Sewelasan, aktif dalam pengkajian Manuskrip Kuno dan Literasi Aksara. Juga kepala Pondok Pesantren Pelajar al-Amin diSumberpasir Pakis-Malang.




