NU Malang – Di dalam kisah Mahabharata, ada satu tokoh yang sering terlupakan namun menyimpan pelajaran besar: Bambang Ekalaya. Ia bukan kesatria utama, bukan pula dari kalangan keluarga ningrat seperti para pandawa dan kurawa, ia marginal. Dalam perjalanannya mencari ilmu memanah danurweda, hanya satu orang yang memiliki ajian ini yaitu Begawan Durna dari Hastinapura. Singkat cerita Ekalaya ditolak saat ingin belajar pada sang mahaguru karena Durna telah berjanji dia tidak akan mengajar kepada orang lain kecuali putra-putra ningrat Hastinapura Pandawa dan Kurawa.
Penolakan itu tidak memadamkan semangatnya. Ia membuat patung menyerupai Durna, lalu berlatih seakan-akan sang guru benar-benar membimbingnya. Dengan ketekunan dan keyakinan, Ekalaya tumbuh menjadi pemanah ulung dan menguasai ilmu danurweda, hingga suatu ketia ia mampu mengalahkan Arjuna murid formal Durna yang digadang-gadang sebagai pemanah terbaik.
Kisah ini bukan sekadar legenda. Ia adalah alegori tentang belajar di luar sistem, tentang mencari jalan sunyi ketika pintu formal tertutup. Dan menariknya, di zaman kita sekarang, kita juga memiliki “patung Durna” bernama Artificial Intelligence (AI).
Hari ini, siapa pun bahkan Ekalaya jika hidup di zaman sekarang bisa membuka layar ponsel dan bertanya pada AI tentang ilmu apa pun: dari fisika kuantum, filsafat, hingga cara menulis puisi. Kita bisa berlatih, berdiskusi, bahkan menguji diri seolah ada seorang guru pribadi yang sabar dan selalu siap sedia dengan segudang data dan informasi. Sama seperti Ekalaya yang berbicara pada patung Durna, kita berbicara pada “patung digital” yang menjawab dengan kecerdasan buatan.
Bedanya, AI bukan sekadar patung diam, melainkan patung yang bisa merespons, memberi variasi sesuai keinginan kita. Dia patung Durna 2.0 dengan Samudra data dan informasi. jumlah kata yang “dibaca” oleh AI setara dengan 100 juta buku, jika manusia membaca 100 juta buku selama 24 jam nonstop dibutuhkan 60.000 tahun lebih untuk menyelesaikannya.
Dalam situasi seperti ini secara kualitatif antara pendidikan formal dan Pendidikan mandiri mulai kabur. Seorang yang tekun belajar dengan AI bisa saja mengalahkan “murid formal” mereka yang duduk di bangku sekolah selama 12 tahun belum lagi kuliah.
Namun, kisah Ekalaya juga memberi peringatan. Pada akhirnya, Durna yang mendengar murid formal-nya dikalahkan menggunakan ilmu Danurweda terkejut dan bertanya mengapa Bambang Ekalaya mampu menguasai ilmu Danurweda tanpa diajari apapun olehnya meminta “ibu jari” Ekalaya sebagai tanda bakti. Tanpa berpikir Panjang Ekalaya memotong kedua ibu jari-nya dipersembahkan untuk sang mahaguru. Sejak saat itu, meski tetap hebat, kemampuan memanahnya tak lagi sempurna. Di balik keberhasilan belajar mandiri, ada harga yang harus dibayar.
Pertanyaannya: apa “ibu jari” yang harus kita serahkan ketika belajar dengan AI? Apakah itu kreativitas yang perlahan pudar? apakah hilangnya “sentuhan rasa”? Ataukah kemampuan kita untuk berpikir kritis yang perlahan tumpul karena terlalu bergantung pada mesin?
Ekalaya adalah simbol bahwa belajar tidak harus melalui jalur resmi. Tapi ia juga simbol bahwa setiap jalan pintas punya konsekuensinya. AI memang membuka pintu luas bagi siapa saja untuk jadi pembelajar, tapi kita perlu waspada agar tidak menyerahkan “ibu jari” kita secara cuma-cuma.
Pada akhirnya, pertanyaan yang paling penting adalah: apakah kita berani menempuh jalan sunyi, jalan mandiri, jalan marginal Ekalaya dengan patung digital bernama AI? Karena bisa jadi, justru dari jalan itulah lahir para pemanah ulung baru di dunia pengetahuan modern.
Penulis: Miftahur Roziqin