(dok;Wafiq, ilustrasi)
Malang, numalang.id-Setelah hari Tarwiyyah pada tanggal 8 dan Arafah ditanggal 9 Dzulhijjah. Dengan keutamaan 2 hari mulia tersebut. Pada tanggal 10 Dzulhijjah Allah menetapkan hari raya Idhul Adha untuk umat muslim di dunia. Penetapan 10 Dzulhijjah sebagai hari raya Idul Adha ini bertujuan untuk memperingati peristiwa besar yang pernah terjadi pada waktu tersebut.
Dikisahkan bahwa setelah Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putranya dan ia benar-benar yakin bahwa mimpi tersebut dari Allah. Ia pun dengan berat hati menyampaikan berita tersebut kepada putranya Ismail sebagaimana yang tertuang dalam surat Assafaat ayat 102 sebagai berikut:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
Artinya: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!‘” (Surat As-Saffat ayat 102).
Mendengar perkataan ayahandanya, Ismail menanggapinya dengan tenang namun tegas sebagaimana dalam ayat berikut:
قَالَ ياأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Surat As-Saffat ayat 102).
Nabi Ibrahim adalah sosok yang dikenal begitu taat dan patuh terhadap perintah Allah. Dengan berat hati ia harus memilih antara Allah atau anak kesayangannya. Beruntung Ismail adalah anak yang patuh juga terhadap ayah dan taat terhadap Allah. Ia rela melakukan apapun bila itu adalah perintah Allah. Tanpa gentar sekalipun, ia memerintahkan ayahnya untuk melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.
Setelah mereka berdua sepakat, akhirnya Nabi Ibrahim A.S mengajak anaknya Ismail ke Mina dan membaringkannya di pelipisnya. Hal itu dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Saat-saat penuh kesedihan itupun terjadi. Dalam Tafsir Al-Wasith karya Syech Muhammad Sayyid At-tanthawiAt-tanthawi dijelaskan bahwa nabi Ismail mengatakan kepada nabi Ibrahim dengan penuh ke ikhlasan “Wahai ayahku! Kencangkanlah ikatanku agar aku tidak lagi bergerak, singsingkanlah bajumu agar darahku tidak mengotori, dan (jika nanti) ibu melihat bercak darah itu niscaya ia akan bersedih, percepatlah gerakan pisau itu dari leherku, agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu sangat dahsyat. Apabila engkau telah kembali maka sampaikanlah salam (kasih) ku kepadanya.”
Dengan penuh kasih sayang dan linangan air mata kesedihan, nabi Ibrahim A.S melakukan apa yang diperintahkan putranya tersebut.
Kemudian ia pun mengambil pisau untuk mulai menyembelih Ismail. Anehnya, setelah pisah diletakkan di leher Ismail pisau tersebut sama sekali tidak melukainya. Beberapa kali Nabi Ibrahim mengulangi, pisau tersebut sama sekali tidak memberi bekas pada Ismail. Hingga dalam kitabnya, Syekh Abu Ishaq bin Ibrahim Ats-Tsa’labi, meriwayatkan bahwa Ismail berkata pada ayahnya: “Wahai ayahku! Palingkanlah wajahku hingga tak terlihat olehmu! Karena sungguh, jika melihat wajahku, engkau akan selalu merasa iba. Perasaan iba itu dapat menghalangi kita untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Apalagi di depan mataku terlihat kilatan pisau yang sangat tajam, tentu membuatku ketakutan.”
Dengan segala kehendak, Allah SWT pun mengganti tubuh Ismail dengan seekor Domba jantan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam alquran Surat As-Saffat ayat 104-108.
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ.
Artinya: “Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudiankemudian.”
Moment penggantian Ismail dengan domba tersebut merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada nabi Ibrahim A.S yang sampai saat ini kita peringati setiap tahunnya.
Adapun ibrah yang bisa petik dari peristiwa tersebut adalah ketika kita benar-benar ingin menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada Allah maka kita harus berani mengorbankan apapun yang kita miliki, bahkan itu sesuatu yang kita cintai sekalipun.
Pengorbanan melawan syahwat kita terhadap dunia merupakan pengorbanan yang sangat besar nilainya. Bahkan Rosulullah SAW pun bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ
Artinya: “Jihad yang paling utama adalah seseorang yang berjihad (berjuang) melawan dirinya sendiri dan hawa nafsunya.”
Allah SWT pun demikian, berfirman dalam kitab sucinya.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّه َمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankaabut : 69).
Adapun esensi jihad mempunyai beberapa macam, diantaranya adalah jihad melawan kehendak nafsu hewani yang terkadang menggelapkan pikirin kita sebagai manusia yang berakal. Makhluk yang Allah berikan pembeda dengan Hewan melalui Akal.
Adapun domba atau sapi yang kita korbankan itu merupakan simbol pengorbanan kita terhadap syahwat hewani yang selama ini membelenggu kita. Pada dasarnya, nafsu itu sendiri sebenarnya berada dalam diri kita, dan hanya kita yang mampu mengendalikannya atas pertolongan Allah dan jika kita mau.
Semoga Allah SWT memberi kita pertolongan untuk selalu berada di jalanNya. Dan semoga kita mampu mengendalikan nafsu buruk kita dengan pertolongannya. Amiiin.
Semoga bermanfaat.
Pewarta: Muhammad Wafiq (Mahasiswa Universitas Al-Qolam Malang)