Dok: foto Kiai HAris Syaiful Huda, lodalem Kalipare
Malang – Arjowilangun merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten Malang yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Blitar. Wilayah Arjowilangun terbagi atas 5 dukuh dan 3 dusun bagian. Diantaranya adalah Barisan, Panggang Lele, Lotekol, Lodalem, Duren, dan Dungdampar. Arjowilangun merupakan desa termaju dan termodern di antara desa-desa lainnya di kecamatan Kalipare.
Kata “lodalem” terdiri dari dua kata, yaitu Lo dan dalem. Kata ”Lo” artinya pohon Loe yang besar dan dalem artinya “rumah”. Dulunya, Lodalem ada kisah salahsatu pohon loe disamping rumah. Bahkan saat ini pohon Loe masih ada, tingginya bisa mencapai 17 meter dengan garis tengah batangnya sekitar 50 cm. Batangnya sangat bergetah. Getahnya berwarna putih susu.
Ulama-ulama kharismatik yang bermukim di Arjowilangun antara lain, K.H Haris Syaiful Huda, K.H Chasbi, Drs. H. Achmad Sugito (pendiri lembaga sekolah SMK Islam dan SMP Islam Kalipare), K.H. Sholeh, K.H. Zamhuri, K.H. Umar Said. Semua model alumni pesantren yang telah banyak kenangan menjadi tokoh sentral di desanya.
Disisi lain juga ada makam Mbah Ampel yang terletak di dusun Lodalem, ada arca Paron yang terdapat di area pemakaman Dusun Pangggang Lele serta arca kepala Mbah Sukoco dan Mbah Sukeci yang disimpan di Padepokan Eyang Demang Mertawijoyo, Panggang Lele. Suku-suku di Arjowilangun juga beragam, ada keturunan China, Kalimantan, Madura, Jawa, asing dan masih banyak yang lainnya.
Dalam tulisan ini, penulis lebih fokus membahas sosok ulama kharismatik yaitu K.H. Haris Syaiful Huda, sang perintis dakwah dan penyebar Islam di bumi Arjowilangun. Dari sekian banyak ulama dan kiai yang bermukim di Arjowilangun, 100 % berafiliasi pada Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Tidaklah aneh jika muncul sosok yang kharismatik dan sabar dalam mendidik santrinya.
Kiai Haris Syaiful Huda sebagai ion Lodalem-Arjowilangun, terus menerus berusaha keras menghidupkan nilai-nilai agama dan intelektual melalui madrasah maupun halaqoh diniah yang diasuhnya. Beliau pernah menyampaikan setiap dakwahnya itu sudah 80 tahun lamanya. Dalam beberapa pertemuan, beliau sering menyampaikan pesan, “sesibuk apapun pekerjaan kita, luangkan ngaji, ngaji, dan ngaji. Baik itu Ngaji Al-Qur’an maupun mendengarkan pengajian. Santri harus bermanfaat untuk masyarakat”.
Latarbelakang Keluarga
Tahun 1940, adalah tahun bersejarah bagi pasangan K.H. Samdari dan Nyai. Hj. Safuroh. Pada tahun itu lahir putra ke-1 mereka yang diberi nama “Haris Syaiful Hadi”. Putra ke-1 inilah kelak yang akan meneruskan perjuangan mengasuh madrasah. Ketidakjelasan tanggal lahir bukanlah sesuatu yang aneh, namun kelupaan blaka.
Pendapat lain menyatakan bahwa Kiai Haris lahir di Malang, pada 9 September 1940. Ketika masyarakat Indonesia lebih sering menandai kelahiran seseorang dengan peristiwa lain yang lebih besar, misalnya gempa bumi, dan lain-lain, bukan menuliskan tanggal lahir. Maka, kita sering mendengar orang mengatakan, misalnya, “Rumah dibangun ketika ada tentara Jepang” tanpa menyebutkan tahun, apalagi bulan dan tanggal.
Arjowilangun telah banyak menelorkan tokoh tauladan di kampung halamannya. Di era masa belanda, K.H. Hasan Munirat ayah dari Kiai Haris pada waktu itu pernah dipanggil oleh tentara belanda, karena memberontak tentang tuduhan adanya pelaksananaan sholat jumat di masjid.
Termasuk berperan dalam berdirinya madrasah MI Walisongo Lodalem. Lalu ada Kiai Haris, ahli al-qur’an yang dikenal sebagai penerus K.H Samdari. Berikutnya ada santri Kiai Haris dalam segi kemampuan yaitu K.H. Mu’anan memiliki perusahaan di Surabaya, Ustad Budiono sebagai mudin pemangku imam musholla, Ustad Nurhadi sebagai ketua KUA di desa Donomulyo Kabupaten Malang. Demikian pula teman sejawat Kiai Haris ialah Drs. H. Achmad Sugito, dan K. H Chasbi. Mereka termasuk bagian dari jasa berdirinya Madrasah MI Walisongo Lodalem, namun tokoh yang disebut terakhir dimakamkan kuranglebih jaraknya 1 km dari Madrasah Walisongo yang jaraknya bersebelahan dengan Kiai Haris.
Kiai Haris mempunyai istri namanya Nyai Sri Banun. Dari pernikahan ini, kiai Haris dikaruniai empat anak diantaranya meninggal dikala masih dalam kandungan. Anak-anak yang masih hidup diantaranya Masfungi Hadi Ahsan, Irfan Nawasil Huda, dan Tanwiratul Husna. Dari empat orang anak ini, mereka yang berhasil menjadi mua’allim-mu’allimah di lembaga formal maupun di pekerjaan lainnya.
Menuntut ilmu
Dengan melihat nasab kedua orangtuanya, Kiai Haris hidup dalam lingkungan yang sederhana dan Agamis. Ketika masih kecil, Kiai Haris belajar kepada kedua orangtuanya, terutama sang ibu. Bu Nyai Safuroh yang sangat telaten mengajari Kiai Haris dan juga para santri untuk ngaji pada beliau. Inilah kelak barangkali yang mendorong Kiai Haris untuk memperdalam pengetahuannya tentang Al-qur’an.
Meskipun hidup di lingkungan agamis, Kiai Haris tetap melanjutkan belajarnya ke pesantren. Ini adalah sebuah cara agar Kiai Haris juga mengenal pesantren sendiri atau tidak menjadi “katak dalam tempurung”. Di samping itu, belajar di pesantren sendiri biasanya kurang memberikan banyak tantangan. Karena, para guru menghormati putra pengasuh pesantren, sehingga mereka tidak bisa memaksa atau bertindak tegas kepada sang putra Kiai tersebut. Nah, jika anak Kiai belajar di pesantren lain, “Keistimewaan” sebagai putra Kiai tidak lagi disandang oleh Kiai Haris. Ia tak beda jauh dengan santri-santri lainnya. Maka, akan banyak tantangan yang harus dihadapi, dan itu akan membuatnya lebih matang baik secara keilmuan maupun pemikiran.
Lembaga pendidikan pertama yang menjadi tujuan belajarnya adalah Sekolah Rakyat Bandung, Sumberpucung yang saat itu. Ketika Kiai Haris belajar, madrasah ini termasuk madrasah yang sudah modern pada zamannya, sudah diterapkan sistem klasikal (ada jenjang kelas). Pengalaman ini kelak mengilhami Kiai Haris untuk membangun lembaga pendidikan formal dan non formal dikampungnya. Kiai Haris adalah seorang yang sederhana, dalam ber-agama sangat disiplin. Termasuk dalam keluarganya, metode dalam mendidik itu sangat penuh kesabaran atau telaten walaupun katakanlah yang nakal. Meski begitu dengan konsistennya tetap berpegah teguh sesuai apa yang diajarkan. Meski ada yang telat mengaji, beliau tetap mengarahkan dengan ucapan,
“jangan telat lagi ya Le… Nduk…”. Ramah dan bersahaja.
Berikutnya, Kiai Haris belajar di Pondok Pesantren Nida’ul Islam Riyadatul Uqul Talun Blitar. Pesantren yang diasuh KH. Miftahul Makna sapaan akrabnya (mbah Makno). Jika ditarik keatas nasabnya, Kiai Makna masih ada keturunan dari H Mahyin bin Mesir bin K. H Yahudo (Pacitan). Ia seorang tokoh besar sekaligus penyebar islam di daerahnya. Demikian pula Kiai Makna juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Jampes-Kediri dan Pondok Pesantren Ploso Kediri. Dua pesantren ini tersebut dikenal ada hubungan persaudaraan. Sedangkan Gus Miek, anak dari Bu Nyai Hj. Rodhliyah Dzajuli Kediri dan Nyai Hj. Dzajuli. Dipondok inilah Kiai Haris mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an khususnya tajwid disamping ia juga belajar kitab turats (kuning) lainnya, seperti Al-Jurumiyah dan Al-Imrithi, ilmu balaghah, kitab hadis, dan tasawuf.
Kiai Haris memasuki dunia Pondok Pesantren setelah menginjak dewasa, usianya sudah mencapai hampir 16 tahun. Tetapi pemuda yang selalu haus dahaga akan ilmu pengetahuan itu bergumam It’s never late to learn (Tak ada istilah terlambat untuk belajar). Bukankah Rasulullah Saw telah bersabda:
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian ibu sampai ke liang lahad.” Nabi Muhammad Saw telah mencanangkan Long life education jauh sebelum dunia barat menemukannya.
Perlu diketahui bahwa ada sesuatu yang ajaib yang hanya dapat dirasakan oleh orang‑orang yang belajar ilmu agama dengan penuh kesungguhan disertai dengan himmah yang tinggi. Ketika telah diperoleh kefahaman, kemudian ilmu itu masuk ke dalam dada, meskipun cuma setetes terasa nikmat luar biasa, tenang dan tenteram terasa dihati, seolah‑olah perkara lain tak ada artinya sama sekali. Sangat berbeda dengan belajar ilmu‑ilmu dunia saja, kian menumpuk pengetahuan yang didapat malahan seringkali mendatangkan kegelisahan. Terbayanglah ijazah, terbayanglah gelar, kekuasaan, kemewahan dan istri cantik. Dan tatkala ilmu‑ilmu dunia telah sampai pada klimaksnya, jadilah pemiliknya seorang pakar yang dikagumi. Lambat laun sang pakar merasakan kehebatan dirinya, terkadang dianggaplah dirinya sebagai yang terbaik dan tak terkalahkan lagi sedangkan orang lain dianggap sepele dan bodoh. Itulah awal kesombongan dan keangkuhan yang membawa kesesatan. Tidak jarang yang akhirnya tergelincir tidak menjalankan ibadah lupa pada Tuhan.
Mendirikan Madrasah
Orang baru dikatakan Kiai sesungguhnya, jika sudah mampu mewujudkan ilmunya dalam kehidupan nyata, seperti mendirikan lembaga pendidikan, baik pesantren atau lembaga formal lainnya. Ada juga yang tidak bisa mendirikan pesantren, namun mereka mengajar dan berkarya ilmiah, seperti ulama; Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfud Al-Tirmisi, dan Syekh Abdul Hamid Ali Kudus.
Begitu pun Kiai Haris pulang ke kampung halaman, Kiai Haris mengajar anak-anak ngaji sembari mengadakan pengajian kepada masyarakat sekitar. Awalnya beliau, hanya mengaji pada orangtuanya. Kemudian, Kiai Haris ingin ngaji bareng kaum muda sampai membentuk halaqoh-halaqoh. Akhirnya, masjid ‘Nurul Hasan’ yang bersanding dengan ndalemnya menjadi ramai. Banyak yang belajar kepada Kiai Haris.
Melihat masjid yang awalnya sepi dengan kaum muda ngaji pada sore hari, kini masyarakat setempat merasa ingin tahu siapakah yang meramaikan masjid. Singkat cerita, karena menyukai kepribadian Kiai Haris sampai di undangan kesana kemari dari masyarakat untuk berdakwah. Disinilah Kiai Haris disebut dengan Kaii rujukan
Dan menakjubkan, sebagai bentuk riyadlah, Kiai Haris ketika berangkat ke sekolah Rakyat sumberpucung maupun Pesantren Talun selanjutnya, selalu berjalan kaki. Nah, sambil berjalan kaki, Kiai Haris menalar atau membaca al-qur’an hingga sampai tujuan.
Kiai Haris Seorang Sufi
Seorang sufi selalu menampilkan budi pekerti yang luhur, karena budi pekerti itu adalah inti dari ajaran al-qur’an dan hadist Rasulullah saw. Dalam Bahasa jawa, orang sufi itu identik kesantunan perilaku dan pitutur, dengan kata lain, ilmu yang di ngelmuni.
Jamiyah NU dengan tegas menyatakan jika akidahnya adalah Asy-Syari (imam Abu Hasan al-asy-asy’ari), mazhab fiqihnya adalah Syafi’iyah, dan tasawufnya adalah mengikuti Imam Al-Ghazali.
Dari sini jelas, Kiai Haris Syaiful Huda termasuk sanadnya nyambung ke ulama Ploso Kediri, seperti; bahkan, secara khusus pernyataan seputar akidah dan mazhabnya ditulis dalam kitab kifayatul al-mustafid karya Syekh Machfudz Al-Turmusi Pacitan.
Setiap tahun, selalu diadakan Haul Mbah Haris Syaiful Huda yang dihadiri oleh santri dan masyarakat Arjowilangun. Puluhan orang datang ke Haulnya, sekaligus meneladani kesantunan dan budi pekerti Kiai Haris yang sangat mulia. Beliau juga dikenang dengan kiprahnya yang bersahaja dikalangan masyarakat muda sampai dewasa (tidak melihat jabatan), ialah aktif dikegiatan kemasyarakatan, contohnya mengikuti jamaah tahlil keliling setiap RT ke RT dengan bergantian sekaligus mengisi kultum.
Bersumber dari Santri Kiai Haris bernama Nurhadi memaparkan dari telatennya beliau yang berkesan bagi saya, dapat menjadi Kiai rujukan dari wilayah Kecamatan setiap persoalan di masyarakat, larinya kepada ulama yaitu Kiai Haris dalam berdakwah jelas sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nahl: 125.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Demikian maksud ayat diatas jika di sepadankan dengan perjuangan beliau dalam berdakwah yaitu jelas bilhikmah, kebijakan betul diterapkan. Ramainya Dusun Lodalem – Arjowilangun, menjadi sebab akibat karena masyarakat mencari ilmu itu sumbernya di Lodalem. Sampai akhirnya kiprah ketokohan Kiai Haris menjadi rujukan masyarakat baik segi keagamaan maupun madrasah.
Selain menimba ilmu Kiai Haris juga suka bertani untuk bisa menghidupi kebutuhan keluarganya.
Menghadap Sang Pencipta
Malang, 7 April 2000/12 Dzulhijjah 1421 H adalah hari kelabu bagi masyarakat Arjowilangun. Pada hari itulah, Kiai Haris dipanggil sang Maha kuasa setelah menderita sakit yang dirawat di RS Syaiful Anwar Kota Malang, Jawa Timur. Seorang tokoh yang sabar, bersahaja, dan sampai menjadi Kiai rujukan masyarakat Kalipare.