Dok: Ketua PW NU Jawa Timur K.H. Marzuqi Mustamar (kiri) bersama Kyai Mutawakkil Alallah pengasuh ponpes Zaha Genggong (kanan). Jawapos.com (23/8).
numalang.id – Ketika masih menjadi a’wan Syuriyah di ranting NU Gasek, Badut. Di suatu pagi, tiba-tiba K.H. Muhammad Yahya atau yang biasa disapa Mbah Kiai Mad Gading, tindhak ke ndalem Kiai Marzuqi.
Mbah Kiai Mad Gading merupakan pengasuh generasi kedua dari Pondok Pesantren Miftahul Huda, atau lebih dikenal dengan Pondok Pesantren Gadingkasri.
Kedatangan Mbah Kiai Mad Gading tak terduga dan tidak pernah direncanakan. Sontak Kiai Marzuqi langsung menemui beliau sambil bingung dan terheran-heran. Seketika, Mbah Kiai Mad Gading bertanya, “Kamu mau tidak menjadi ketua NU Kota Malang?”.
“Maksudnya bagaimana, Kiai? Saya ini orang ranting, kok disuruh menjadi ketua NU Kota Malang?” Jawab Kiai Marzuqi dengan tawadlu.
Setelah Mbah Kiai Mad Gading meyakinkan dengan menjelaskan berbagai pertimbangan dan alasannya memilih Kiai Marzuqi untuk maju sebagai calon ketua NU Kota Malang. Kiai Marzuqi menjawab, “Asal jenengan rida, tidak apa-apa,” sambil masih merasa bingung.
Ketika konferensi cabang (Konfercab) Malang dilaksanakan di Unisma (Universitas Islam Malang). Kiai Marzuqi mengikuti acara pertemuan para kiai di Pondok Pesantren Al-Hikam bersama Prof. Dr. H. Ali Maschan Moesa, M. Si Saat datang di acara Konfercab, kebetulan pada momen pemilihan. Dari 99 ranting yang berpartisipasi Kiai Marzuqi mendapatkan 92 suara. Dengan demikian, berlanjut pada aklamasi yang mengangkat Kiai Marzuqi sebagai ketua PCNU kota Malang.
Seiring berjalannya waktu, kemudian Kiai Marzuki terpilih menjadi ketua PWNU Jawa Timur tanpa disangka dan dinyana agar mau dicalonkan sebagai ketua PWNU. Beliau menjelaskan panjang lebar mengenai kondisi yang dihadapi.
Sebelumnya, Kiai Mutawakkil yang menawarkan Kiai Marzuki bingung dan perasaan keberatan, Kiai Marzuki menjawab “asal Mbah yai Warman (KH Anwar Mansur Lirboyo) enggih, saya juga enggih. Kalau tidak, saya juga tidak,” jawabnya kiai Mutawakkil.
Akhirnya, kiai-kiai menyatakan setuju dan menginstruksikan Kiai Marzuqi untuk menerima tawaran pencalonan ketua PWNU. Tanpa ada persiapan, apalagi sampai mengundang cabang-cabang untuk pengondisian, pemaparan visi-misi ataupun briefing dan lain sebagainya. Kiai Marzuqi tidak melakukan hal-hal yang semacam itu. Satu hal yang pasti, bekal ridlo para guru adalah tombak utama dalam keberhasilan.
“Kula nderek mawon, pokoke kula nderek mawon”, kalimat yang selalu diucapkan ketika diminta dan diperintah oleh guru-guru.
Ketika Konferwil NU Jawa Timur dan pemilihan dilaksanakan, dari sekitar 43 suara, Kiai Marzuki mendapatkan 30 suara. Setelah aklamasi, dari tiga kandidat yang ada, beliau ditetapkan sebagai ketua PWNU Jawa Timur selanjutnya menggantikan Kiai Mutawakkil. Semuanya tidak lain berkat rida Allah Swt., ketekunan, keikhlasan, dan kesabaran menjalani sekaligus mengajarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang selalu dipegang.
Masih banyak kisah inspiratif dari kiai-kiai NU yang bisa dijadikan refleksi. Representasi dari sikap nyata ketiga ulama di atas merupakan teladan sekaligus cerminan bagi kader-kader NU bahwa komitmen memprioritaskan kemaslahatan jamaah dan jam’iyyah lebih utama daripada kekuasaan semata.