NUmalang.id — Dalam kehidupan sosial kita hari ini yang semakin riuh oleh persaingan, gosip, tekanan ekonomi, hingga beban mental, masyarakat sesungguhnya sangat membutuhkan sosok yang mampu meredam kegaduhan batin. Kita butuh figur penenang, katalisator keteduhan di tengah suasana yang serba retak. Persis seperti syair Franky Sahilatua dalam lagu Perahu Retak, ruang sosial kita mengalami rengkah di banyak sisi. Di titik inilah hadirnya suwok kyai menjadi penting. Ia bukan sekadar tokoh agama, tetapi penjaga harmoni dan penyejuk luka-luka sosial yang tak tampak.
Konsep suwok sendiri merujuk pada kemampuan menghadirkan ketenteraman: doa, sugesti positif, ataupun wejangan yang menyejukkan hati. Suwok kyai bukan sebatas ritual, tetapi simbol kebutuhan manusia untuk disentuh kebijaksanaan, bukan semata aturan-aturan kaku.
Di banyak kampung, kyai selalu menjadi tempat menumpahkan beban hidup. Masyarakat datang kepada kyai bukan untuk berdebat dalil atau membuka kitab berjilid-jilid. Mereka datang untuk didengarkan. Mereka membawa keresahan keluarga, kecemasan ekonomi, masalah hubungan, hingga rasa tak berdaya menghadapi kerasnya kehidupan. Dalam momen seperti itu, kyai menjadi “ruang aman”, tempat seseorang diperlakukan sebagai manusia seutuhnya bukan angka statistik, bukan objek penilaian.
Kekuatan suwok kyai terletak pada kemampuannya memanusiakan manusia. Ia tidak hanya memberi solusi, tetapi menghadirkan ketenangan dalam bentuk kehadiran yang tulus. Di tengah dunia yang semakin individualistis, kehadiran sosok seperti ini menjadi oase yang semakin langka namun sangat dirindukan.
Jika diperhatikan lebih saksama, suwok kyai sesungguhnya bekerja sebagai bentuk psikoterapi kultural terapi sosial berbasis budaya kita sendiri. Ia berbahasa dengan cara yang akrab di telinga masyarakat: melalui doa, simbol, sentuhan spiritual, dan metafora-metafora sederhana. Suwok menghadirkan harapan, membuat orang merasa diperhatikan, dan memulihkan hati yang rapuh.
Di wilayah yang minim layanan psikologis formal, suwok kyai sering menjadi akses kesehatan mental paling nyata dan paling ampuh. Ia meredakan kecemasan sosial, memberi rasa terhubung, dan mencegah seseorang terjerumus dalam kesunyian yang berbahaya.
Selain menenangkan individu, kyai juga memainkan peran penting sebagai peredam konflik sosial. Ketika terjadi gesekan antartetangga, kecemburuan sosial, fitnah, atau kegaduhan politik tingkat kampung, kyai hadir sebagai figur moderasi. Ia menggunakan bahasa yang lembut namun tetap tegas, menarik kembali hati yang terseret emosi, sekaligus meneguhkan nilai gotong royong yang perlahan memudar. Suwok kyai adalah suara kesejukan di tengah hiruk pikuk yang panas.
Nyeri sosial bukan hanya muncul dari persoalan ekonomi, tetapi juga dari kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin yang sering berubah arah demi kepentingan tertentu. Kyai terlebih mereka yang istiqamah, sederhana, dan dekat dengan masyarakat menjadi simbol kestabilan. Integritas, keteladanan, dan akhlak yang konsisten membuat nasihat kyai memiliki bobot moral yang kuat. Inilah yang menjadikan ucapan kyai sebagai suwok, bukan sekadar kata-kata kosong, tetapi energi moral yang mengembalikan kita pada nilai kemanusiaan.
Di era media sosial, nyeri sosial meningkat berlipat-lipat. Perbandingan tanpa henti, informasi tanpa saringan, komentar menyakitkan semua itu membuat banyak orang kehilangan ruang sunyi untuk menata hati. Di sinilah peran suwok kyai semakin relevan: menghadirkan teduh di tengah badai informasi, menurunkan tensi kegelisahan, dan mengingatkan bahwa manusia butuh kejernihan batin. Kyai sebagai peredam nyeri sosial bukan semata soal ritual, melainkan empati yang meresap sampai ke bahasa jiwa.
Dalam masyarakat yang terus berlari, ruang sosial yang terus gaduh, dan batin yang diguncang tuntutan zaman, suwok kyai hadir layaknya angin yang membelai pohon—tidak mengubah dunia seketika, tetapi mengubah cara kita menapaki kehidupan. Suwok kyai adalah seni lembut dalam mengelola luka-luka sosial, napas ketenangan yang menjaga manusia tetap menjadi manusia. Ia adalah keheningan yang meredakan hiruk pikuk dunia.
Selama manusia masih membutuhkan keteduhan, suwok kyai akan tetap relevan sebagai peredah nyeri sosial yang tak pernah benar-benar selesai.
Kontributor: Sholikan




