Kuala Lumpur, NUMalang.id — Di sebuah sore yang tenang di pusat Kota Kuala Lumpur, Teggar Saputra, pengurus PC IPNU Kabupaten Malang, duduk berhadapan dengan dua sosok yang menjadi saksi hidup perjalanan panjang PCINU Malaysia: Masykur dan Yafik Mursyid. Pertemuan itu bukan sekadar wawancara, tetapi seperti membuka album besar yang merekam perjalanan diaspora NU di Negeri Jiran sejak seperempat abad lalu.
Jejak yang Berawal dari Sebuah Restu
Tak banyak yang mengetahui bahwa keberadaan NU di Malaysia bermula dari sebuah restu istimewa. Pada 1999, KH Miftahur Rohim dan sejumlah perintis muda membawa harapan besar dari tanah air. Mereka menghadap Presiden RI kala itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), untuk memohon izin mendirikan NU di Malaysia sebuah langkah yang saat itu dirasa sangat dibutuhkan demi para pekerja migran Indonesia yang hidup jauh dari keluarga, dari kampung, dan dari tradisi keagamaan yang mereka kenal.
“Gus Dur merestui,” kenang para pengurus PCINU. Dari restu itulah cerita panjang ini dimulai.
Saat itu, ribuan pekerja migran Indonesia hidup dalam keterbatasan: jauh dari bimbingan keagamaan, tanpa akses pengajian, tanpa ruang untuk sekadar menenangkan hati. NU hadir sebagai rumah baru bagi mereka rumah yang membawa tahlil, yasinan, manaqiban, dan kultur pesantren yang menjadi identitas spiritual warga Nahdliyin.
Waktu berjalan, kebutuhan akan legalitas semakin mendesak. Pada 2012, lahirlah Pertubuhan Nahdlatul Ulama Kuala Lumpur–Selangor (PNUKS), sebagai wadah resmi beranggotakan warga negara Malaysia. Sejak itu, PCINU Malaysia berkembang menjadi salah satu cabang istimewa paling aktif di dunia.
Malaysia, yang memiliki banyak irisan tradisi dengan Indonesia, menerima dakwah PCINU dengan tangan terbuka. Pengajian rutin, Peringatan Hari Besar Islam, kajian Aswaja, hingga kolaborasi keilmuan dengan berbagai kampus di Indonesia menjadi denyut utama gerakan ini.
“Di sini, amaliyah NU diterima dengan mudah. Tradisinya memang dekat,” tutur Yafik.
Di banyak kesempatan, masjid, surau, dan aula kecil menjadi ruang perjumpaan para perantau. Di sana mereka kembali merasa seperti di kampung halaman.
Menguat dalam Sosial, Menggenggam Tangan yang Membutuhkan
Selain dakwah, PCINU Malaysia hadir sebagai penguat sosial bagi sesama WNI. Pemeriksaan kesehatan gratis, bakti sosial, penggalangan donasi, hingga pendampingan bagi pekerja migran menjadi agenda yang tak pernah berhenti.
Ada banyak kisah yang tak tercatat: pekerja migran yang sakit lalu dibantu obat-obatan, keluarga PMI yang dituntun mengurus dokumen, hingga anak-anak perantau yang kembali tersenyum karena mendapatkan ruang belajar.
Dari semua program PCINU Malaysia, salah satu yang paling menyentuh adalah Sanggar Bimbingan, ruang belajar untuk anak-anak PMI yang tidak memiliki dokumen lengkap untuk bersekolah di institusi formal Malaysia. Di ruang sederhana itulah masa depan anak-anak migran kembali disusun. KBRI Kuala Lumpur pun memberikan pengakuan terhadap program ini.
Yang membuat PCINU Malaysia istimewa, mereka menjadi satu-satunya cabang istimewa NU di dunia yang memiliki pesantren sendiri: Pondok An-Nahdloh. Tidak hanya anak PMI yang belajar di sana, tetapi juga warga lokal Malaysia.
Pesantren ini seolah menjadi simbol: bahwa semangat pesantren tidak pernah mengenal batas negara.
Sinergi Erat dengan KBRI Kuala Lumpur
Bagi KBRI Kuala Lumpur, PCINU bukan sekadar mitra, tetapi sahabat yang memahami denyut kehidupan para perantau. Banyak kegiatan perlindungan dan pemberdayaan WNI, khususnya pekerja migran, berjalan karena dukungan dan jaringan yang dimiliki PCINU.
“PCINU itu pondasi. Banyak pertemuan ormas bahkan dilaksanakan di tempat kami,” ujar Masykur sambil tersenyum.
Menghidupkan Ekonomi Jamaah: Restoran Bintang Sembilan
Di tengah hiruk-pikuk kawasan Chow Kit, berdiri sebuah restoran bernama Bintang Sembilan. Restoran itu tidak hanya menjual makanan; ia menjual kehangatan perantau dan menjadi ruang silaturahmi yang hidup. Menariknya, 40 persen pendapatan restoran diinfakkan untuk kegiatan PCINU.
Dari usaha kecil ini, ekonomi jamaah kembali bergerak. Dari dapur kecil, khidmah besar bekerja.
Hubungan NU dan Malaysia rupanya tidak hanya dimulai tahun 1999. Jauh sebelumnya, Syekh Abdul Fahim, ulama besar Malaysia, tercatat sebagai sahabat dan sesama murid guru dari KH Hasyim Asy’ari saat belajar di Makkah. Ikatan keilmuan itu menjadi jembatan batin yang menghubungkan dua negara sejak lama.
Kini, PCINU Malaysia tengah mempersiapkan masa depan: memperluas keanggotaan warga lokal, menguatkan pendidikan diaspora, serta memperluas program pemberdayaan ekonomi.
Tetap Indonesia, Meski di Perantauan
Dalam masyarakat multikultural Malaysia, PCINU terus menjaga identitas kebangsaan warga Indonesia. Tradisi Aswaja dijalankan dengan penuh kasih, sementara rasa cinta tanah air dipupuk dalam setiap kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan sosial.
Menutup perbincangan, Masykur dan Yafik menyampaikan pesan sederhana, namun kuat:
“Dimanapun berada, tetaplah berkhidmah. Pelajar, gunakan akal dan kesempatan belajar sebaik mungkin. Kita semua adalah bagian dari jam’iyah yang besar.”
Mereka berharap, PCINU Malaysia dan NU di Indonesia dapat saling memperkuat, saling menopang, dan bersama menjaga kemaslahatan jamaah serta diaspora.
Dan dari sebuah restu Gus Dur 25 tahun lalu, perjalanan itu terus berlanjut menjadi kisah khidmah yang tidak pernah padam.
Kontributor: Teggar Saputra (Pengurus PC IPNU Kabupaten Malang)




