back to top
Sabtu, November 22, 2025

Air Mata di Gerbang Pesantren, Jalan Sunyi Menuju Kedewasaan Jiwa

numalang.id — Ada masa dalam hidup yang sulit dijelaskan dengan kalimat sederhana, masa ketika seorang anak untuk pertama kalinya meninggalkan rumah, keluarga, dan kenyamanannya untuk tinggal di pesantren. Pada tahap itu, kerinduan, kebingungan, dan air mata seakan menjadi bagian dari rutinitas hari-hari awal. Dulu, saya mengira kisah tentang santri yang menangis di malam pertama hanyalah cerita yang dibesar-besarkan. Namun setelah menjalaninya, saya memahami bahwa air mata itu adalah bagian dari proses pembentukan jiwa pintu masuk menuju kedewasaan spiritual.

Saya berangkat ke pesantren mengikuti harapan seorang ayah yang percaya bahwa pendidikan agama adalah bekal terbaik untuk masa depan. Dalam pandangannya, anak yang saleh merupakan mahkota bagi kedua orang tua, baik di dunia maupun di akhirat. Harapan tersebut selaras dengan pesan murobbi ruhina, almarhum Kiai Haji Bashori Alwi Murtadlo, yang sering menekankan bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan, tetapi cahaya yang menerangi langkah hidup. Dari beliau, kami belajar bahwa keberkahan ilmu tidak diperoleh hanya dengan belajar, tetapi juga melalui adab, kesungguhan, dan penghormatan kepada guru.

Memulai kehidupan pesantren berarti memulai kembali dari hal-hal dasar. Kami belajar bahasa Arab dari nol, melalui metode yang menuntut ketelitian dan kesabaran. Setiap huruf dibenarkan, setiap makhraj diperhatikan. Sebelum itu, kami terlebih dahulu ditempa dalam bacaan Al-Qur’an: tahqiq dan tartil yang benar-benar menempatkan ketepatan dan kekhusyukan sebagai prioritas. Murojaah bersama setiap akhir pekan selalu meninggalkan kesan mendalam. Lantunan ayat suci dari para guru kami tidak hanya terdengar indah, tetapi terasa sampai ke dada, menata hati dan mengikat santri pada Al-Qur’an sebagai sumber ketenangan.

Namun, pelajaran paling berharga dari pesantren bukan hanya pada aspek akademik. Pesantren membentuk cara pandang dan sikap hidup seorang santri. Kami diajarkan bahwa menuntut ilmu adalah perjalanan yang tidak pernah berakhir. Maziltu thaliban kita adalah penuntut ilmu sepanjang hayat. Tidak ada gelar yang membuat seseorang selesai belajar. Seorang santri sejati akan terus merasa kecil di hadapan ilmu dan besar dalam rasa hormat kepada guru.

Dari pesantren juga saya memahami makna khidmah mengabdi kepada guru, pesantren, atau masyarakat. Khidmah bukan tugas sampingan, melainkan jalan keberkahan. Tidak semua santri mendapat kesempatan ini, dan karena itu mereka yang mendapat amanah tersebut merasakan kebanggaan yang mendalam. Khidmah mengajarkan kerendahan hati, keikhlasan, dan kesediaan untuk berbuat tanpa menuntut balasan. Dalam proses ini, kami belajar bahwa ulama adalah waratsatul anbiya pewaris para nabi, dan menghormati mereka berarti menghormati ilmu itu sendiri.

Di tengah arus dunia yang serba cepat dan pragmatis, pesantren menawarkan sesuatu yang berbeda-beda. Pesantren mengingatkan bahwa proses tidak dapat dipangkas, bahwa ilmu tidak tumbuh tanpa kesungguhan, dan bahwa adab adalah pondasi dari seluruh pencarian pengetahuan. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi ruang pembentukan karakter dan arah hidup.

Kini, ketika saya melihat kembali hari-hari awal penuh air mata itu, saya menyadari bahwa tangisan itu bukan tanda kelemahan. Air mata itu adalah bentuk kejujuran hati ketika berhadapan dengan perjalanan baru yang tidak mudah. Ia adalah pengantar bagi terbukanya pintu hati untuk menerima ilmu, bimbingan guru, dan keberkahan dalam langkah-langkah kecil yang kami susun setiap hari.

Dan pada akhirnya, setiap santri yang pernah menangis di gerbang pesantren suatu hari akan tersenyum dan berkata pada dirinya sendiri: “Ternyata inilah jalan yang membawaku pulang kepada diriku yang paling sejati.”

Penulis: Adib Qosim Masrukhan, S. Pd

spot_img
spot_img
-- advertisement --spot_img

Artikel Pilihan