Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya menanamkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan adab santri kepada ulama. Dalam tradisi pesantren, penghormatan kepada guru diwujudkan melalui berbagai bentuk, seperti mencium tangan, mengesot ketika mendekat, atau menundukkan tubuh di hadapan ulama. Namun, ketiga bentuk penghormatan ini memiliki dasar dan batas syariat agar tidak disalahpahami atau melampaui batas ibadah.
Pertama, mencium tangan ulama merupakan tradisi yang memiliki dasar dari hadis Rasulullah ﷺ. Dalam Al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhari disebutkan bahwa para sahabat mencium tangan Nabi ﷺ sebagai bentuk penghormatan. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū‘ menyebut bahwa mencium tangan ulama disunnahkan bila diniatkan untuk memuliakan ilmu dan ketakwaan, bukan karena kepentingan duniawi. Maka, mencium tangan menjadi simbol cinta terhadap ilmu dan penghormatan terhadap pewaris para nabi.
Kedua, mengesot di hadapan ulama juga merupakan bentuk tawadhu’ (kerendahan hati). Imam Az-Zarnuji dalam Ta‘līm al-Muta‘allim menegaskan bahwa ilmu tidak akan masuk ke hati tanpa sikap rendah diri kepada guru. Tradisi santri yang mendekat dengan mengesot bukanlah bentuk penghinaan diri, melainkan penghormatan terhadap ilmu dan kehadiran guru yang dimuliakan.
Ketiga, membungkuk di hadapan ulama perlu dibatasi. Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah ﷺ melarang seseorang membungkuk kepada sesamanya. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa membungkuk ringan sekadar hormat hukumnya makruh, sedangkan menyerupai rukuk adalah haram. Dengan demikian, penghormatan fisik tetap harus berada dalam koridor tauhid dan adab Islam.
Permasalahan muncul ketika bentuk-bentuk adab santri ini disalahpahami oleh masyarakat luas. Baru-baru ini, program Xpose Uncensored di Trans7 menayangkan segmen yang menyinggung kehidupan pesantren, khususnya Pondok Pesantren Lirboyo. Tayangan tersebut menampilkan narasi yang menggambarkan santri “ngesot” dan memberikan amplop kepada kiai secara satir, sehingga menimbulkan kesan merendahkan martabat pesantren dan para ulama. Tayangan itu menuai kecaman luas dari masyarakat dan lembaga keagamaan, hingga akhirnya Trans7 menyampaikan permintaan maaf secara resmi.
Kejadian ini menunjukkan pentingnya sensitivitas media dalam menampilkan kehidupan pesantren. Tradisi seperti mencium tangan, mengesot, dan menunduk bukanlah perilaku kultus individu atau fanatik buta, melainkan manifestasi cinta dan penghormatan terhadap ilmu serta guru. Dalam pandangan Islam, menghormati ulama berarti menghormati ilmu yang mereka wariskan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud).
Maka, sudah sepatutnya adab santri tidak dijadikan bahan ejekan, melainkan dipahami sebagai warisan moral yang luhur dan khas dalam khazanah Islam Nusantara.
Penulis: M. Farhan
Editor: Hari Istiawan