back to top
Senin, Oktober 6, 2025

Belajar dari Musibah Al-Khoziny: Mewujudkan Itqan dalam Infrastruktur Pesantren

NU Malang – Tragedi runtuhnya bangunan musholla Pondok Pesantren Al-Khoziny Sidoarjo ketika ratusan santri tengah melaksanakan sholat asar berjamaah meninggalkan luka mendalam, tidak hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi dunia pesantren secara keseluruhan. Kabarnya, bangunan tersebut baru saja direnovasi dengan penambahan lantai empat.

Proses pengecoran dilakukan pada pagi hingga siang hari, lalu bangunan itu ambruk pada sore harinya. Peristiwa ini membuat ratusan santri terjebak dalam reruntuhan. Belum ada kepastian jumlah korban jiwa, namun tim evakuasi terus berusaha semaksimal mungkin.

Menurut analisis Tim SAR gabungan dan ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Muji Himawan, penyebab utama tragedi ini adalah kegagalan konstruksi. Kolom, balok, hingga plat penghubung bangunan runtuh, menunjukkan lemahnya struktur sejak awal.

Musibah ini bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan alarm keras tentang rapuhnya penerapan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) di lembaga-lembaga pendidikan. Kita sering membicarakan mutu pendidikan hanya dalam aspek akademik, kurikulum, atau metode pengajaran saja. Namun, tragedi ini membuktikan bahwa sarana dan prasarana juga merupakan bagian vital yang tak bisa diabaikan.

Dalam melaksanakan fungsi pendidikan, pesantren oleh UU Pesantren no 18 tahun 2019 telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dan mengamanatkan kepada Lembaga independent yaitu Majlis Masyayikh untuk “menggodok” SPMP Pesantren, tetapi kemudian juga perlu dipertanyakan sejauh mana kematangan SPMP Pesantren dan bagaimana perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang telah dilakukaan?

SPMP pada dasarnya berlandaskan pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang mencakup delapan standar, salah satunya adalah Standar Sarana dan Prasarana. Dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2023 ditegaskan bahwa sarana harus memenuhi aspek keamanan dan keselamatan, sementara prasarana wajib berada di lingkungan yang nyaman, sehat, serta memiliki akses darurat. Lebih jauh, pasal 9 menekankan syarat teknis bangunan: kekuatan konstruksi, ketahanan terhadap bencana, sistem ventilasi, pencahayaan, sanitasi, listrik, hingga aksesibilitas penyandang disabilitas. Bahkan penggunaan material bangunan pun diatur agar aman bagi kesehatan dan keselamatan pengguna.

Jika standar ini benar-benar diterapkan, pertanyaan besarnya adalah: bagaimana mungkin musholla Al-Khoziny bisa runtuh dalam hitungan jam setelah pengecoran? Apakah standar telah diabaikan? Atau jangan-jangan pengawasan pembangunan masih jauh dari kata harapan?

Di sisi lain, Robithoh Ma’had Islamiyah (RMI) PBNU sebenarnya sudah meluncurkan standar pesantren, termasuk infrastruktur. Namun, Gus Ulun Nuha sebagai pengurus RMI mengingatkan bahwa pesantren tumbuh dari swadaya masyarakat, bukan dari proyek besar. Artinya, infrastruktur biasanya dibangun bertahap sesuai kemampuan. Tentu pernyataan ini realistis, tetapi apakah keterbatasan anggaran bisa dijadikan alasan untuk mengorbankan keselamatan jiwa para santri? Bukankah pendidikan pesantren melibatkan nyawa ribuan anak bangsa yang seharusnya dijaga dengan standar keamanan tertinggi?

Tragedi Al-Khoziny menjadi cermin betapa orientasi pesantren tidak cukup hanya pada aspek ubudiyah dan pembentukan akhlak saja, melainkan juga harus terbuka pada profesionalisme khususnya dalam pembangunan infrastruktur, artinya pesantren jika tidak memiliki kader professional dibidangnya, maka libatkanlah pihak ketiga yang memang telah teruji profesionalitasnya.
Bahkan Nabi Muhammad Saw saja memilih Khalid bin Walid sebagai ahli dibidang perang, itu artinya Nabi Saw menganjurkan kita untuk menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya sebagaimana sabdanya “Sesungguhnya Allah mencintai jika seorang melakukan sesuatu pekerjaan yang dilakukannya dengan Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas) (HR. Tabrani No. 897).

Musibah ini juga menegaskan kepada kita bahwa masih ada beberapa pesantren yang abai terhadap standarisasi infrastrukutu bangunan, demi efisiensi anggaran para santri dilibatkan dalam pengecoran ataupun proses perbaikan bangunan, bukan tidak boleh keterlibatan santri dalam pembangunan pesantren tetapi paling tidak harus melalui analisis professional.

Mengandalkan semata-mata niat baik dan swadaya tanpa standar yang ketat, sama saja menyiapkan bom waktu bagi santri dan keluarganya. Alih-alih dapat berkah, malah musibah yang datang.

Peristiwa ini bagaikan pil pahit yang harus ditelan: bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan kita masih lemah, terutama pada aspek sarana dan prasarana. Dalam konteks pembangunan infrastruktur pesantren masih abai terhadap professional. Sudah saatnya sama-sama bergandengan tangan antara pemerintah, ormas Islam, profesional dan masyarakat untuk membangun kesadaran bahwa pendidikan bermutu tidak cukup diukur dari ilmu yang diajarkan, melainkan juga dari seberapa aman ruang tempat belajar dan beribadah bagi para santri.

Akhirnya mari kita semua berdoa untuk para korban bencana semoga Allah catat bagi mereka yang meninggal dunia sebagai syahid dijalan-NYA keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan korban lainya yang masih mengalami perawatan diberikan jalan terbaik. Kita juga berharap semoga peristiwa ini menjadi peristiwa yang terakhir kalinya, pesantren atau lembaga pendidikan lainya menjadikan peristiwa ini sebagai bahan evaluasi bersama. Dan kita ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tim SAR gabungan yang telah berusaha semaksimal mungkin dalam proses evakuasi, semoga Tuhan yang maha kasih catat sebagai bagian dari pada kebaikan. Aamiin. (*)

Penulis: Ahmad Khairudin Sidik, M.Pd

spot_img
spot_img
-- advertisement --spot_img

Artikel Pilihan