NUMALANG.ID.,-Malang, 6 September 2025. Kecamatan Ngantang salah satu daerah di kabupaten Malang tepatnya di wilayah barat kabupaten Malang yang meliputi kecamatan Pujon, Ngantang dan Kasembon. Jalur Malang barat menuju kabupaten Kediri, dan jalur ke seletan jika menuju kabupaten Blitar. Ngantang menyimpan banyak tempat eksotik di kelilingi hamparan gunung, hutan serta beberapa sumber mata air yang masih terjaga baik. Banyak pengunungan yang mengapit kecamatan Ngantang, pengunungan yang mengelilingi Ngantang termasuk dalam kategori daerah dataran tinggi menjulang, suhu udaranya yang dingin karena masih satu jalur dengan kota Batu, kecamatan Pujon dan kemudian Ngantang. View di Ngantang sangat cocok dan bagus dalam peningkatan UMK di Ngantang, banyak orang akan datang kesini dan meningkat sumber ekonomi masyarakat setempat, namun sangat perlu peningkatan SDM manusianya. Tegas! Abdul Aziz.
Daerah yang masih konsisten dengan pertanian sayuran dan buah-buahan dan hasil bumi lainnya, seperti tanaman kopi, buah durian, tembakau dan cengkeh. Ini terdokumentasi jelas saat ekspedisi berlangsung. Ekspedisi ini kami lakukan dalam rangka menyambut Maulidurrosul Nabi Muhammad Saw 1447 H, tim ekspedisi terdiri LESBUMI PCNU Kabupaten Malang, LESBUMI Ngantang dan LESBUMI Lawang.
Sowan Makbaroh Pahlawan Nasional “Karaeng Galesong”
Pada hari Ju’at, 5 September 2025. Jam: 22:04 Wib. Kami bersama tim memulai ekspedisi, sowan menuju ke makbaroh Karaeng Galesong, tepatnya di jalan Indragiri dusun Kebonsari desa Sumberagung kecamatan Ngantang kabupaten Malang. Menurut tulisan yang berjudul “The Twilight of Karaeng Galesong’s Resistance Against VOC” yang ditulis “Melda Amelia Rohana” bersama tim, disebutkan bila Karaeng Galesong merupakan anak Raja Kerajaan Islam Gowa Tallo, yakni Sultan Hasanuddin. Tepatnya dari istri keempat, Loqmoq Toboq. Sejak masih muda, Karaeng Galesong berjuang bersama Sultan Hasanuddin untuk mengusir penjajah dari Makassar. Adalah pahlawan yang berasal dari Gowa, beliau adalah putra sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa Makasar, Sulawesi Selatan. Bernama asli I Manindori di kebumikan di desa Sumberagung kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Karaeng Galesong merupakan gelar, Galesong sendiri adalah nama daerah kerajaan Gowa di bagian selatan yang dilukiskan daerah yang makmur dan menjadi lumbung pangan kerajaan Gowa.
Karaeng Galesong adalah seorang bangsawan Gowa yang mengejar VOC (Kongsi Dagang Hindia Belanda) hingga ke tanah Jawa. Karaeng Galesong lahir pada 29 Maret 1655 dengan nama I Maninrori. Karaeng Galesong merupakan putra sulung Sultan Hasanuddin dari istri keempat yang bernama I Hatijah I L’omo Tobo. Karaeng merupakan gelar bangsawan Makassar, sedangkan Galesong adalah nama salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo. Jiwa pejuang dari sang ayah, Sultan Hasanuddin, menurun ke Karaeng Galesong. Lantas, bagaimana perjuangan Karaeng Galesong? Terlibat dalam pemberontakan Trunojoyo empat tahun setelah perjanjian Bongaya ditandatangani pada 1671, Karaeng Galesong memutuskan pergi meninggalkan tanah leluhurnya dan berlayar ke arah barat untuk menyusun strategi dan melanjutkan perlawanan. Karaeng Galesong berhasil mendarat bersama rombongannya di Pelabuhan Banten pada Oktober 1671. Tujuan kedatangan Karaeng Galesong ke Banten adalah untuk membantu Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC.
Pertempuran yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan VOC dikenal sebagai Perang Banten. Di tengah berlangsungnya Perang Banten, Raden Kejoran, mertua dari Raden Trunojoyo yang sedang mempersiapkan pergerakan melawan Prabu Amangkurat I dari Kesultanan Mataram, datang untuk meminta bantuan. Raden Kejoran kemudian mengutus Karaeng Galesong untuk membantu Raden Trunojoyo melawan VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di bawah kepemimpinan Karaeng Galesong aliansi mereka berhasil mencapai kesuksesan besar. Sebagian besar kota di pesisir Jawa, beserta Pasuruan berhasil direbut dari tangan VOC. Lebih lanjut, pada Mei 1676, Belanda kembali merebut beberapa wilayah di Jawa Timur dan memaksa Karaeng Galesong melarikan diri ke Madura.
Karaeng Galesong dan Raden Trunojoyo justru menyerang Jawa Timur dengan mengerahkan pasukan gabungan dari Madura, Makassar dan Surabaya yang berkekuatan 9.000 tentara. Lalu, pada Oktober 1676, pasukan Mataram dan Belanda berhasil dikalahkan dalam pertempuran Gegodog yang diikuti dengan serangkaian kemenangan di pihak Raden Trunojoyo dan Karaeng Galesong. Banyak catatan sejarah yang mengarah pada perlawanan beliau yang heroik dalam mengusir VOC. Beliau adalah pahlawan Nasional yang dalam rangka mengejar dan imperialis licik VOC sampai ke Jawa, hingga pada akhirnya beliau menjadi menantu Raden Trunojoyo seorang Raden dari trah pinerah kerajaan Madura. Beliau Karaeng Galesong tutup usia akibat sakit pada 21 November 1679 dan jasadnya di kebumikan di Ngantang kabupaten Malang, Jawa Timur. Tampak beberapa pengikutnya beliau sebagai “abdi raja” di makamkan di satu komplek makam yang terjaga dan terawat baik hingga saat ini.
Melacak Selokurung dan Goa Pertahanan Terakhir Raden Trunojoyo
Tepat pada Sabtu pagi, tanggal 6 September 2025, ngapit jejak Raden Trunojoyo di Ngantang kami lanjutkan ke bukit Solokurung dusun Watukidul desa Waturejo kecamatan Ngantang, tempat ini diyakini oleh masyarakat setempat sebagai pertahanan terakhir Raden Trunojoyo. Sebelum masuk menuju area lokasi goa kami di sapa dan sambut juru tamu yang menjaga gaet “pendamping” pada area edukasi Selokurung tersebut. Tepat pada bibir goa atau lebih tepatnya cekungan batu menyerupai goa. Tidak banyak data yang dapat kami gali di tempat ini, namun ada satu makam tua yang secara fisik masih terjaga dan terawat berada tepat di depan cekungan goa di sebelah kanan, kami menyebutkan tua terlihat dari dua bentuk batu nisan yang tebuat dari pahatan, kemudian kami melakukan “umbul dungo” dengan tawasulan dan tahlil. Tepat pada bibir gua dari atas terdapat beberapa tetesan sumber mata air yang bening dan jernih, terbukti salah satu dari tim kami mengambil air tersebut yang sudah di tadah dan meminumnya bergantian.
Sebagai kultur santri kami bersama tim ekspedisi “membacakan sholawat Nabi dengan bilqiyaman-indal qiyam dengan berdiri” sebagai bentuk penghormatan pada leluhur yang telah berjuang demi tegaknya NKRI. Meskipun tidak banyak informasi yang dapat kami gali. Namun pada jaman penjajahan ada cerita sejarah bahwa disebelah barat Desa Waturejo ada pegunungan yang diberi nama Selokurung (batu yang berbentuk seperti sangkar) di situlah sebagai tempat persembunyian Pahlawan Trunojoyo dari Penjajahan Belanda, oleh karena itu dimungkinkan bahwa Pemberian Nama Desa Waturejo ada kaitannya dengan sejarah kepahlawanan Trunojoyo tersebut.
Dari kejadian peristiwa di atas, maka munculnya Desa Waturejo diperkirakan tahun 1674 Masehi, saat Pahlawan Trunojoyo mengadakan Perlawanan terhadap VOC. Pahlawan Trunojoyo memilih lokasi untuk bertahan di bukit Ngantang tepatnya di Batu Besar yang berbentuk seperti sangkar ( sekarang disebut Selo kurung ) yang di dalamnya terdapat ruang untuk berteduh dari panas matahari dan hujan serta dapat memantau keberadaan musuh dengan jangkauan pandangan yang cukup jauh.
Saat Raden Trunojoyo dikepung oleh musuh di seputaran Selokurung tersebut, musuh dihujani batu sehingga musuh lari tunggang langgang. Pada suatu ketika Trunojoyo pergi ke Mataram untuk memenuhi undangan damai Raja Amangkurat II untuk berunding, Raden Trunojoyo berpesan kepada anak buahnya untuk babat hutan membuka pemukiman di seputaran selokurung atau pulang ke keluarganya agar hidup tentram. Dari pembukaan Pemukiman tersebut akhirnya munculah sebuah desa yang di beri nama Kwatu (sekarang di sebut Waturejo).
Pada tahun 1721 munculah tokoh atau pemimpin yang menjadi petinggi beberapa pemukinan (sekarang disebut dusun). Pada tahun 1923 para tokoh masyarakat menyatukan diri membentuk sebuah desa dengan Nama Waturejo diambil dari dua kata yang digabungkan, yaitu; “watu artinya batu dan rejo artinya ramai”, jadilah sebuah nama desa menjadi “Waturejo” yang memiliki arti “Ramai Batu”. Yaitu suatu nama yang di ambil dari peristiwa sejarah Pahlawan Trunojoyo dengan menghujani musuh dengan batu dan terdengar ramai. Sejak saat itu munculah Kepala Desa yang pertama yaitu ki Demang Karsodirdjo tahun 1023-1946.
Sedangkan cikal bakal desa Waturejo adalah Ki Buyut Kadalan, seorang mantan tokoh laskar Trunojoyo yang naik turun bukit dengan cara merangkak atau melata seperti hewan kadal. Setelah meninggal dimakamkan di dekat pohon Rondo Kawak dan namanya diabadikan menjadi punden rondo kawak atau kadalan.
Sejarah desa Waturejo berdasarkan cerita rakyat atau legenda, tidak banyak yang mengetahui keberadaan legenda atau cerita rakyat tentang asal muasal desa Waturejo, masyarakat Waturejo hanya meyakini bahwa cikal bakal desa Waturejo adalah para sesepuh yang menjadi cikal bakal di Dusun mereka yang merupakan bagian dari desa Waturejo yaitu Ki Kadalan makamnya di dusun Watukidul, ki buyut Surodipo atau mbah Guru dan mbah Bandang di makamkan di dusun Watulor dan ki buyut Tirtomoyo di makamkan di dusun Sumbergondo.
Guna yang namanya di abadikan sebagai nama sesepuh atau pepunden desa Waturejo dari beberapa sumber yang dapat dikumpulkan, cerita-cerita tersebut kemudian di rangkum sebagai berikut; pada waktu itu para tokoh tersebut menjadi cikal bakal yang membabat hutan untuk dijadikan pemukiman dan berkembang menjadi sebuah desa yang di beri nama “Waturejo”.
Misi sucinya dari Ngapit Jejak Raden Trunojoyo di kecamatan Ngantang kabupaten Malang ini adalah masyarakat setempat semakin paham dan tahu, kemudian turut serta dalam rangka merawat dan menjaga bukti sejarah, karena ini adalah bagian dari “cagar budaya” yang secara mandiri senantisa terjaga. Disisi lain akan keberadaan tokoh penting dalam memperjuangkan negara yang berdikari di atas pijakan bumi sendiri tanpa ada intervensi dari pihak lain, seperti di masa sulit masa dimana imperialis, penjajahan berjaya di negeri ini.
Makbaroh Nyai Klinting Koneng Pada Ketinggian 975 Meter
Di bukit Gading, dusun Gading desa Kaumrejo kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Pada Kamis, 3 Juli 2025. Jam; 10:24 Wib. Kami melakukan pendakian dengan heking jalan kaki pada ketinggian 975 M. Jika di runut bukit Gading ini berada di balik bukit Selokurung tempat Raden Trunojoyo menghujani VOC dengan hujan batu. Di bukit Gading ini terdapat makam nyai Klinting Koneng, Koneng dalam bahasa Madura yang berarti “Kuning”, beliau juga terkonfimasi atau terhubung dengan Raden Trunojoyo. Makbaroh nyai Klinting Koneng ini berada tepat pada ketinggian 975 mater. Tim ekspedisi di bersamai LESBUMI MWCNU Ngantang melakukan “sowan dan umbul dungo” tawasulan dan tahlil di lokasi tersebut. Medan yang menanjak dan berada di tengah kebun kopi, pohon durian, pohon pisang dan beberapa pohon cengkeh, kami sarankan ada gaet jika melakukan pendakian ke makbaroh beliau.
Beberapa titik jalan bercabang sehingga akan menyasar ke titik yang lain, jika tidak teliti dan waspada hal ini dapat saja terjadi, jika pendakian dilakukan tanpa gaet dari masyarakat setempat. Kami sangat bersyukur dengan ketinggian hampir 1000 mater masyarakat setempat dan tokoh setempat masih rela, peduli dan masing memiliki empati untuk turut serta “nguri-nguri” keberadaan makbaroh beliau, nyai Klinting Koneng. Bukti bersejarah bahwa kecamatan Ngantang kabupaten Malang memiliki catatan sejarah Nasional yang luar biasa dan senantiasa terjaga.
Eksodus dan Embrio Kerajaan Singhasari
Sabtu, 6 September 2025. Jam;10:34 Wib. Bersama tim kami menuju bukit Anjasmoro tepatnya di dusun Gagar desa Tulungrejo kecamatan Ngantang kabupaten Malang. Pada ketinggian 1000 Meter lebih. Di atas bukit ini kami mendokumentasikan situs candi Ganter yang tersisa seperti bebatuan yang tidak terawat, banyak yang hilang dan seterusnya. Jika melihat pada titik candi Ganter ini, seperti Piramida, namun candi Ganter ini sudah terkubur oleh gundukan tanah, bisa saja akibat erosi dan lainnya. Candi Ganter ini secara letak geografis letaknya sangat strategis, sangat jelas ketika kita melihat ke sisi depan, belakang, samping depan ataupun belakang bukit ini. Tidak salah jika Ken Angrok memilih tempat ini sebagai titik perlawan pada raja Kadiri raja Kertajaya. Ken Angrok adalah salah satu tokoh yang paling berjasa dalam catatan sejarah berdirinya kerajaan atau Trah Rajasa Singhasari, Ken Angrok melakukan perjalan spiritual dengan mengaet para tokoh-tokoh Brahmana pada waktu itu berbeda pandangan kenegaraan dan keyakinan dalam keagamaan dengan raja Kadiri Kertajaya.
Tokoh Brahmana adalah klaster manusia yang memiliki tingkat derajat tertinggi dalam ajaran Jawa kuno, disamping Brahmana adalah seorang suci, petapa dan pejalan spiritual kerap kali di mintai pendapat dan arahan oleh raja demi baik dan langgengnya kepemimpinan seorang raja. Di dalam ajaran Islam, Brahmana ini setingkat dengan kyai Mursid Thoriqoh (baca: Syech al-Akbar Muhyiddin ibnu Araby dalam; kitab Futuhat al-Makkiyyah) yang dalam catatan manuskrip era para wali sanga, tertulis tujuh klaster manusia Jawa kuno dan level tertinggi adalah klaster Brahmana dalam agama Hindu, Kyai Mursid Thoriqoh dalam Islam.
Dalam catatan manuskrip ajaran Jawa kuno, jika kita tarik benang merah, Brahmana adalah seorang alim ulama (seperti dalam ajaran Islam) yang boleh dan memiliki kewenangan penuh untuk berbicara tentang agama, atau menfatwakan pandangan-pandangan agama. Selebihnya di luar klaster manusia Brahmana atau Kyai Mursid Thoriqoh adalah pantangan “larangan” berbicara agama. Manusia Brahmana digambarkan manusia suci yang telah mampu memungkuri dunia, atau pangkur dalam pandangan era para wali sanga, manusia yang telah mampu memungkuri atau memungguli dunia yang bersifat fatamorgana.
Candi Ganter, di kecamatan Ngantang Kabupaten Malang mengkisahkan dan melatar belakangi setelah menggantikan Tunggul Ametung sebagai akuwu Tumapel, terjadi perselisihan antara raja Kadiri, Kertajaya yang memerintah Kediri antara tahun 1200-1222 M, dengan kaum Brahmana. Dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kestabilan kerajaan Kadiri mulai menurun. Kondisi ini karena raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Sang prabu menyatakan ingin disembah sebagai dewa. Permintaan Prabu Dandhang Gendis ini tentunya mendapatkan perlawanan dari para pendeta dan kaum Brahmana Hindu maupun Buddha.
Meskipun Prabu Dandhang Gendis unjuk kesaktiannya dengan cara duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mengakui kedewaan Kertajaya terpaksa disiksa dengan kejam hingga akhirnya mati. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih melarikan diri dan oleh sebab etika dan keserakahannya itu membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. Para kaum Brahmana memilih meninggalkan ibu kota kerajaan Kadiri. Mereka menyingkir sambil terus berdakwah akan kesesatan Kertajaya, kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel (Singhasari-Malang) untuk mencari perlindungan kepada Ken Angrok. Dengan adanya kesempatan itu dan didukung oleh para Brahmana, Ken Angrok mulai menyusun kekuatan militer dan politiknya untuk memberontak terhadap kerajaan Kadiri dan mendeklarasikan Tumapel sebagai kerajaan yang merdeka dan lepas dari kerajaan Kadiri.
Puncak pertempuran antara pasukan Tumapel dan Panjalu (Kadiri) terjadi pada tahun 1222. Ken Angrok memimpin pasukan Tumapel untuk menyerang Kadiri, mereka dihadang oleh pasukan Kadiri yang dipimpin oleh Raja Kertajaya sendiri di tempat yang disebut Genter (juga disebut sebagai Ganter sekarang dusun Ganten kecamatan Ngantang) di sekitar daerah Kadiri bagian timur. Ganter menjadi palagan (medan perang) antara pasukan Kerajaan Kadiri dan Tumapel, dalam pertempuran itu para panglima perang pasukan Kadiri yaitu Mahisa Walungan adik dari Kertajaya dan menterinya Gubar Baleman tewas di tangan Ken Angrok.
Kertajaya sendiri dipaksa untuk menyerahkan kekuasaanya ke tangan Ken Angrok, sehingga menyebabkan kekalahan pasukan Kadiri serta keruntuhan dan sekaligus mengakhiri riwayat dari Kerajaan Kadiri, pertempuran ini terjadi di sebelah utara Ganter, dan di mulainya pemerintahan Rajasa di kerajaan Singhasari. Kitab Negarakertagama memberikan keterangan bahwa kerajaan Kediri runtuh pada tahun 1222 M. Dengan kemenangan Ken Angrok ini, maka berakhirlah kekuasaan Wangsa Isyana setelah memerintah selama tiga abad.
Liputan langsung LESBUMI PCNU Kabupaten Malang
Oleh: Abdul Aziz Syafi’i (ketua LESBUMI)