back to top
Minggu, Agustus 3, 2025

Literasi di Antara Aroma Kopi

Gondanglegi, NU Malang – Kopi Latar di Gondanglegi sore itu dipenuhi aroma kopi yang hangat dan pekat. Lima orang pegiat literasi dan aktivis muda duduk melingkar, seolah membawa perpustakaan kecil di dalam diri mereka masing-masing. Pertemuan ini bukan sekadar obrolan santai, melainkan pertemuan yang lahir dari kerinduan yang sama: menjaga agar aksara tak layu digerus zaman.

Pertanyaan sederhana dari Ali, yang menyeruput kopinya perlahan, memantik diskusi mendalam: “Apa sih literasi itu sebenarnya?”
Turmudzi menjawab sambil menatap jendela, “Bukan cuma membaca, tapi memahami, mencerna, dan memaknai. Membaca itu gerbangnya, literasi adalah perjalanannya.”
Ikbar, Editor numalang.id, menimpali, “Dan perjalanan itu tidak mudah. Di tengah banjir informasi, literasi menjadi tameng terakhir kita membedakan mana yang benar dan mana yang palsu.”

Namun percakapan itu mendadak sunyi ketika Maulidin, yang sejak awal lebih banyak diam, berbicara pelan tapi tegas. Ia menceritakan seorang anak SMP di kota ini, berusia 14 tahun, yang masih belum bisa membaca. Bukan karena malas, tetapi memang tidak mampu. Keheningan yang tercipta seakan menjadi cermin kegagalan bersama.

Ali mencoba menenangkan, “Itu bukan kegagalanmu seorang, Lid, tapi kegagalan kita sebagai bangsa. Minat baca kita lemah, bahkan sebelum anak-anak tahu apa yang layak mereka baca.”
Edi menambahkan, “Lingkungan kita tidak mendukung. Anak-anak melihat orang dewasa lebih sibuk dengan ponsel ketimbang buku. Ruang baca jadi tempat asing. Masalah ini berakar dari rumah, sekolah, hingga kebijakan yang tak berpihak. Tapi kita di sini bukan untuk menyalahkan, kita ingin mencari jalan keluar.”

Dari percakapan itu, saya merenung. Kita hidup di zaman di mana gawai lebih akrab di tangan daripada buku. Literasi bukan lagi sekadar hobi, tapi kebutuhan yang menentukan masa depan bangsa. Ketika ada anak 14 tahun yang tak bisa membaca, itu bukan hanya cerita pilu di sudut Gondanglegi; itu potret nyata wajah pendidikan kita.

Diskusi di antara aroma kopi itu menegaskan satu hal: literasi adalah napas kehidupan. Jika kita lalai menjaganya, maka akan ada lebih banyak generasi yang terengah-engah di tengah derasnya arus informasi. Dan lima anak muda di Kopi Latar itu mengingatkan kita semua harapan selalu ada selama masih ada yang mau menjaga api kecil literasi agar tak padam.

Penulis: Ali Rofik

spot_img
spot_img
-- advertisement --spot_img

Artikel Pilihan