Bulan Suro, yang dalam kalender Hijriah disebut Muharram, bukan hanya menjadi awal tahun Islam, tetapi juga memiliki banyak makna historis dan spiritual. Bulan ini diperingati di berbagai wilayah Jawa dengan tradisi religius yang kental dengan nuansa lokal dan keislaman. Desa Tanggulkundung di Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, adalah salah satu desa yang memiliki tradisi yang kaya.
Nilai-nilai Al-Qur’an dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk nyata dari Living Qur’an, serta warisan budaya. Berikut tradisi-tradisi di Bulan Suro yang ada di Desa Tanggulkundung, Kecamatan Besuki, Tulungagung.
1. Dzikir Fida 1.000 Kali Selama 30 Hari
Di antara nilai-nilai Islam di Nusantara yang berkembang di pesantren, masyarakat Nahdliyyin (NU), dan Muslim tradisional di Indonesia, khususnya di Jawa yaitu Desa Tanggulkundung, Besuki, Tulungagung, terdapat dzikir Fida, yang berasal dari kata “Tahlil Fida”, yang berarti tahlil atau dzikir yang dimaksudkan untuk memberikan doa dan bacaan pahala kepada orang yang telah meninggal dunia.
Dzikir ini dilakukan setiap malam selepas salat Magrib, masyarakat Desa Tanggulkundung rutin mengadakan dzikir Fida secara berjamaah, yakni membaca “Lā ilāha illā Allāh” sebanyak 1.000 kali selama 30 hari penuh di Bulan Suro. Merupakan inti dari kalimat tauhid yaitu pernyataan keesaan Allah yang menjadi pondasi utama dalam ajaran islam. Membacanya secara rutin merupakan bentuk tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), mendekatkan diri kepada Allah, serta menguatkan keimanan. Kegiatan ini diadakan di masjid atau musala dan diikuti oleh warga dari berbagai usia.
Relevansi Tradisi Dzikir Fida yaitu untuk meningkatkan Tauhid dan hubungan dengan Allah. Dzikir Fida terdiri dari beberapa kalimat utama “Lā ilāha illā Allāh” yang berarti “Tiada Tuhan selain Allah.”
Ini adalah inti dari kalimat tauhid, yang merupakan dasar seluruh ajaran Islam. Dzikir Fida dengan membaca kalimat ini sebanyak 1.000 kali bertujuan untuk mengembangkan kesadaran spiritual bahwa hanya Allah yang layak disembah. Menjadi media untuk penyucian hati (tazkiyatun nafs) dari kesibukan duniawi. membiasakan hati dan lidah untuk mengingat Allah setiap saat (dzikrullah).
Selain itu, salah satu tujuan Dzikir Fida adalah untuk memberikan pahala kepada orang tua atau leluhur yang telah meninggal dunia. Ini menunjukkan nilai Birrul walidain, yang berarti berbakti kepada orang tua, bahkan setelah mereka meninggal dunia. Tawasul dan solidaritas spiritual antar generasi umat Islam sejenis kasih sayang yang tidak hilang bahkan setelah kematian.
Tujuan lain Dzikir Fida juga untuk menumbuhkan kebiasaan ibadah kolektif. Mengandung makna tersebut karena dilakukan secara berjamaah atau bersama-sama. Kemudian dapat seabgai sarana untuk membangun kembali masjid dan musala sebagai tempat ibadah, meningkatkan rasa ukhuwah Islamiyah, persaudaraan, dan kebersamaan. menunjukkan kepada masyarakat bahwa ibadah bukan hanya kewajiban pribadi tetapi juga bagian dari membangun kehidupan religius masyarakat.
Dzikir Fida yang dilakukan pada bulan Muharram (Suro), yang dalam literatur Islam dan Jawa disebut sebagai bulan yang suci dan penuh dengan introspeksi, dan waktu yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan bulan untuk bersenang-senang atau berpesta, tetapi momentum untuk mencari keberkahan dan keselamatan.
Nilai-nilai Qur’an yang berada di dalam budaya lokal Dikir Fida adalah contoh langsung dari Living Qur’an, yaitu bagaimana nilai-nilainya dihidupkan melalui adat istiadat lokal yang tidak bertentangan dengan agama, mengajarkan kebaikan sosial, ketakwaan, silaturahmi, dan dzikir melalui budaya yang hidup. Menjadi cara untuk mengintegrasikan kearifan lokal dengan inkulturasi Islam.
Relevansi ayat Qur’an pada Dzikir ini mencerminkan firman Allah dalam Al-Qur’an:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوْا اللّٰهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya,”(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 41)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَّ سَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا
“dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 42)
Penjelasan QS. Al-Ahzab 33: Ayat 41-42 Penafsiran Kitab Ibnu Katsir. Ibnu Katsir menyatakan: “Udzkurullāha dzikran katsīrā” berarti bahwa Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk banyak berdzikir dalam semua situasi, termasuk ketika mereka senang, sedih, sehat, sakit, atau sibuk. Beliau mengatakan bahwa, meskipun dzikir adalah ibadah termudah, itu memiliki nilai yang sangat besar di sisi Allah.
Dikuatkan oleh hadis Nabi SAW: “Maukah aku beritahukan kepadamu amalmu yang paling baik dan paling suci di sisi Rajamu, dan yang paling mengangkat derajatmu, lebih baik dari memberi emas dan perak, dan lebih baik dari berperang melawan musuh?” Para sahabat menjawab: “Tentu ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Kemudian yang berikutnya adalah menghidupkan suasana religius dan kebersamaan di masyarakat, menanamkan kecintaan terhadap dzikir dan ibadah, membentuk karakter masyarakat yang cinta damai dan penuh kesabaran, sebagai bentuk implementasi living qur’an, karena nilai-nilai dalam dzikir tersebut benar-benar dipraktikkan secara nyata dalam kehidupan bersama.
Tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas keislaman warga desa. Dzikir Fida menjadi jalan awal untuk menanamkan nilai-nilai tauhid dan ibadah kepada anak-anak secara lembut, bertahap, dan penuh kasih.
2. Salat Sunah Sebelum dan Sesudah Salat Wajib
Di Desa Tanggulkundung, juga terdapat tradisi yang berbeda yaitu salat sunah yang dilakukan sebelum dan sesudah salat wajib kecuali salat subuh tidak perlu diakhiri salat sunah. Salat sunah ini dilakukan secara jamaah maupun semi jamaah, ibadah salat tidak terbatas pada salat lima waktu yang wajib, tetapi juga termasuk berbagai salat sunah yang berfungsi sebagai penyempurna dan pelengkap.
Salah satu jenis salat sunah yang sangat penting bagi orang Muslim adalah yang dilakukan setelah salat wajib. Salat sunah yang dilakukan setelah salat wajib disebut juga salat ba’diyah, yakni salat sunah rawatib yang menyertai salat fardu. Salat wajib sering dilanjutkan dengan salat sunah secara berjamaah atau semi jamaah di berbagai masjid dan musala.
Tradisi ini menjadi bagian dari rutinitas religius dan sosial yang menciptakan suasana religius di komunitas Muslim. Kebiasaan ini menunjukkan semangat dalam memakmurkan masjid serta menghidupkan sunnah Rasulullah ﷺ.
Relevansi ayat Qur’an pada salat sunah yang mencerminkan firman Allah dalam Al-Qur’an yaitu :
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِيَسْتَـأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ اَيْمَا نُكُمْ وَا لَّذِيْنَ لَمْ يَـبْلُغُوا الْحُـلُمَ مِنْكُمْ ثَلٰثَ مَرّٰتٍ ۗ مِنْ قَبْلِ صَلٰوةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَا بَكُمْ مِّنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْۢ بَعْدِ صَلٰوةِ الْعِشَآءِ ۗ ثَلٰثُ عَوْرٰتٍ لَّـكُمْ ۗ لَـيْسَ عَلَيْكُمْ وَ لَا عَلَيْهِمْ جُنَا حٌۢ بَعْدَهُنَّ ۗ طَوّٰفُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمُ الْاٰ يٰتِ ۗ وَا للّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan), yaitu sebelum sholat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan setelah sholat isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu; mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”(QS. An-Nur 24: Ayat 58)
Kesimpulan dari ayat ini mengenai salat sunah adalah Sebelum Subuh adalah waktu salat sunah qabliyah Subuh, Saat siang, atau dzuhur, Anda juga dapat melakukan salat Dhuha atau salat rawatib sebelum atau sesudah Zuhur. Setelah Isya, waktu untuk salat ba’diyah Isya dan salat malam (tahajud) tersedia bagi mereka yang ingin melakukan ibadah malam. Salat-salat ini bersifat sunah muakkad (sangat dianjurkan) dan memiliki keutamaan besar, sebagaimana di kuatkan dalam hadis Nabi SAW:
“Barang siapa yang menjaga salat sunah rawatib dua belas rakaat sehari semalam, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.”
(HR. Muslim, no. 728)
Bagian dari kekayaan praktik keagamaan umat Islam di Indonesia adalah tradisi melaksanakan salat sunah setelah salat wajib secara jamaah maupun semi jamaah. Tradisi ini menunjukkan kesungguhan masyarakat dalam melestarikan ibadah sunah, serta semangat kolektif untuk memperkuat hubungan spiritual dengan Allah SWT.
Memang, melakukan salat secara berjamaah tidak diwajibkan dan bukan kebiasaan Rasulullah SAW dalam salat sunah rawatib, tetapi melakukannya dengan waktu dan tempat yang sama memiliki nilai sosial dan spiritual yang kuat. Tradisi ini dapat dilestarikan dan menjadi salah satu ciri khas ibadah umat Islam di desa tanggulkundung sendiri selama dilakukan dengan niat tulus.
3. Tidak Mengadakan Pernikahan
Kepercayaan Budaya Jawa. Bulan Suro dianggap sebagai Bulan Keramat. Bulan Suro, atau bulan Muharram dalam kalender Hijriyah dianggap sebagai bulan yang suci, sakral, dan spiritual. Bulan untuk introspeksi, penyucian diri, dan tindakan diam seperti tirakat, riyadhoh, dan dzikir. Karena itu, masyarakat menganggap tidak pantas mengadakan hajatan besar (termasuk pernikahan) yang ramai.
Selama bulan Suro, masyarakat Desa Tanggulkundung tidak mengadakan pernikahan. Hal ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan yang sakral, serta untuk mengisi waktu dengan kegiatan spiritual dan penguatan keagamaan. Meskipun tidak ada larangan syariat tentang menikah di bulan Muharram, masyarakat menjalankan tradisi ini sebagai bentuk kehati-hatian dan pelestarian nilai luhur.
Sebagian masyarakat, meski sadar bahwa tidak ada larangan agama, tetap memilih tidak menikah di bulan Suro sebagai bentuk toleransi budaya atau menghindari konflik keluarga. Ini sah-sah saja selama tidak meyakininya sebagai hal yang membawa sial, tapi lebih karena pertimbangan sosial atau keharmonisan keluarga besar.
Sebaliknya, jika keyakinan terhadap kesialan bulan Suro sampai menggugurkan niat ibadah seperti menikah, maka ini perlu diluruskan. Islam tidak mengenal bulan sial; yang ada hanyalah bulan-bulan mulia yang justru diberi keutamaan.
4. Tahlil dan Yasinan Malam Jumat
Malam Jum’at dalam syariat Islam adalah waktu yang dimuliakan. Tradisi ini terjadi juga di Desa Tanggulkungdung yang dilakukan malam Jum’at di masjid atau musala.
Banyak hadis mengatakan bahwa malam Jum’at adalah waktu yang penuh berkah dan belas kasihan, perbanyak dzikir, doa, dan membaca Al-Qur’an, terutama Surat Al-Kahfi dan Yasin, adalah saran yang baik.
Waktu spesial untuk berdoa untuk orang tua dan kaum muslimin yang telah meninggal dunia. Setiap malam Jumat, di masjid dan musala rutin diadakan tahlilan dan pembacaan Surat Yasin. Selain sebagai bentuk doa untuk arwah leluhur, kegiatan ini juga menjadi sarana penguatan ukhuwah Islamiyah antar warga.
Membaca Yasin dan tahlil pada malam Jum’at telah menjadi tradisi yang berakar dalam budaya Islam, yang dikenal sebagai Qur’an hidup. Tradisi ini memiliki nilai Spiritual mendoakan orang yang telah meninggal, meningkatkan pahala, serta mempertahankan hubungan baik dengan warga. Selain itu, juga dapat mengedukasi anak-anak untuk membiasakan membaca Al-Qur’an dan berdzikir sejak dini.
5. Santunan Anak Yatim pada 10 Muharram
Santunan anak yatim di bulan Suro (Muharram), yang merupakan tradisi lokal di banyak daerah di Indonesia, termasuk di desa-desa seperti Tanggulkundung, Tulungagung. Tanggal 10 Muharram (Asyura) dimaknai masyarakat sebagai hari yang penuh keberkahan. Pada hari ini, mereka mengadakan acara santunan anak yatim, baik di masjid maupun musala.
Mengapa dilakukan di bulan Suro? Karena beberapa alasan, orang Jawa memilih bulan Suro atau Muharram untuk membantu anak yatim. Bulan Muharram adalah bulan duka karena peristiwa Karbala dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali.
Sebagian orang percaya bahwa bulan ini adalah saat yang tepat untuk berbagi, menerima berkah, dan meminta ampunan. Banyak komunitas melakukan introspeksi diri dan amal kebajikan, seperti membantu anak yatim. Karena dilarang menikah di bulan Suro, dia diarahkan untuk hal-hal bermanfaat seperti santunan karena dianggap sebagai pengganti pesta.
Tradisi dan wujud asli dari “Qur’an Hidup” adalah bantuan kepada anak-anak miskin selama bulan Suro. Dalam budaya lokal, prinsip-prinsip Qur’ani seperti kasih sayang, keadilan sosial, dan pemberdayaan anak yatim diwujudkan. menunjukkan bahwa orang-orang menghidupkan dan mengamalkan isi Al-Qur’an melalui acara sosial keagamaan.
Kegiatan ini merupakan pengamalan dari ajaran Al-Qur’an:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِا لدِّيْنِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” (QS. Al-Ma’un 107: Ayat 1)
فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ
“Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,”(QS. Al-Ma’un 107: Ayat 2)
Menurut Ibnu Katsir, arti ayat ini adalah orang yang mendustakan agama adalah, Jika seseorang mengusir, menolak, atau memperlakukan anak yatim dengan cara yang tidak menyenangkan, Tidak hanya tidak memberikan, tetapi juga tidak mempertahankan kehormatannya.
Hadis tentang kedudukan tinggi bagi penyantun anak yatim
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
“أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا”
وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا.
Artinya:
“Aku dan orang yang menanggung (mengurus) anak yatim di surga seperti ini.” (Beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkannya sedikit.) (HR. Bukhari, No. 5304)
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang menyantuni, mengasuh, dan menjaga anak yatim akan mendapat kedekatan istimewa dengan Rasulullah di surga.
Kesimpulan
Tradisi bulan Suro di Desa Tanggulkundung menunjukkan bahwa nilai-nilai Al-Qur’an tidak hanya diajarkan, tetapi benar-benar dihidupkan dalam bentuk budaya, ibadah kolektif, dan aktivitas sosial. Inilah yang disebut dengan Living Qur’an. Al-Qur’an yang hidup di tengah masyarakat, membentuk karakter dan menjaga harmoni
agama dan budaya. Kegiatan-kegiatan tersebut memberikan pelajaran penting bagi generasi muda agar tetap melestarikan tradisi Islami yang bermakna, sekaligus memperkuat identitas religius dalam konteks lokal.(*)
Penulis : Riski Dwi Astuti