back to top
Senin, Juli 7, 2025

Membumikan Aswaja Sebagai Manhajul Hayah

NU Malang – Di tengah kompleksitas zaman, di mana paham keagamaan kian beragam dan realitas sosial semakin menantang, kita perlu bertanya ulang: sudahkah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) benar-benar menjadi jalan hidup umat Islam, khususnya Nahdliyin? Atau jangan-jangan, Aswaja masih kita pahami sekadar sebagai doktrin normatif, bukan panduan praktis kehidupan?

Sejak awal kelahirannya, Aswaja menjadi ruh bagi berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Ketika K.H. Hasyim Asy’ari bersama para ulama pendiri NU memutuskan mendirikan organisasi ini pada 1926, mereka secara tegas mengusung Aswaja sebagai benteng ideologis. Ini adalah jawaban atas gelombang purifikasi keislaman dari kelompok modernis yang kala itu mulai mengikis tradisi Islam lokal.

Namun penting dicatat, Aswaja kala itu lebih ditekankan sebagai mazhab. Sebuah sistem doktrin yang ringkas dan mudah dipahami oleh mayoritas umat Islam yang hidup di pedesaan dengan latar pendidikan terbatas. Maka, dalam aspek akidah, NU merujuk pada pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi; dalam ibadah, mengikuti empat madzhab fiqih yang mu’tabar; dan dalam tasawuf, mengadopsi ajaran Junaid al-Baghdadi serta Imam al-Ghazali.

Format mazhab ini terbukti efektif dalam menjaga ajaran Islam yang moderat dan kontekstual di tengah masyarakat. Namun kini, zaman telah berubah. Masyarakat makin dinamis, tantangan makin kompleks, dan umat Islam tidak cukup hanya menggenggam Aswaja sebagai doktrin. Lebih dari itu, Aswaja perlu dihidupkan sebagai metode berpikir sekaligus gaya hidup manhajul fikr sekaligus manhajul hayah.

Aswaja sebagai manhaj berpikir bukan semata membicarakan teologi. Ia menawarkan prinsip dasar yang relevan untuk kehidupan berbangsa dan beragama: tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan ta’adul (adil). Empat nilai ini menjadi fondasi etika sosial, bukan hanya etika spiritual.

Tawasuth mengajarkan kita untuk tidak ekstrem dalam pandangan dan sikap. Dalam realitas politik atau keberagaman mazhab, pendekatan moderat justru menjembatani perbedaan. Tawazun membantu kita menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, antara hubungan dengan Allah (hablum minallah), sesama manusia (hablum minannas), hingga relasi dengan alam (hablum minal ‘alam).

Tasamuh penting di tengah masyarakat majemuk. Ini bukan sekadar ‘toleransi’ yang pasif, melainkan sikap aktif menghargai perbedaan, mengakui keberadaan yang lain tanpa merasa paling benar sendiri. Dan ta’adul keadilan adalah pangkal harmoni. Bukan sekadar kesetaraan angka, tapi keadilan yang kontekstual: memberi sesuai kebutuhan dan pada tempatnya.

Empat nilai itu jika diterapkan dengan benar akan melahirkan satu kondisi ideal: i’tidal, yakni kehidupan sosial yang harmonis dan adil. Sebuah tatanan masyarakat yang damai, egaliter, dan makmur. Bukan utopia, melainkan tujuan realistis jika prinsip-prinsip Aswaja diterapkan secara menyeluruh bukan hanya dalam ceramah dan diskusi, tetapi dalam keseharian, dalam keputusan sosial, politik, dan budaya.

Di sinilah pentingnya menggeser posisi Aswaja dari sekadar metode berpikir menjadi metode hidup. Aswaja bukan hanya ‘dipelajari’ dalam forum-forum pengajian atau pelatihan kader. Ia harus ‘dihidupi’, menjadi inspirasi dalam cara bersikap, bermuamalah, bahkan memilih pemimpin.

Aswaja sebagai manhajul hayah adalah panggilan untuk menjadikan nilai-nilai Islam tidak mengawang, tetapi membumi hadir dalam ruang-ruang publik dan kehidupan sosial. Karena pada akhirnya, tujuan Islam bukan hanya membentuk pribadi saleh secara individu, tetapi juga membangun peradaban yang adil, seimbang, dan manusiawi.

Kini, saatnya warga NU dan umat Islam pada umumnya tidak lagi menempatkan Aswaja sekadar di rak buku atau catatan pengajian. Aswaja harus turun ke jalan, hadir di pasar, kantor, sekolah, dan ruang-ruang keputusan publik. Inilah cara kita membumikan Aswaja, menjadikannya benar-benar hidup dan nyata dalam setiap aspek kehidupan.

Jadi kita sebagai warga Nahdliyin seharusnya menjadikan Aswaja tidak hanya sebagai Manhajul Fikr (metodologi berpikir) saja, melainkan yang lebih penting lagi, Aswaja kita jadikan sebagai Manhajul Hayah (metodologi dalam menjalani kehidupan).

Penulis: Dr. Noer Rohmah, M. Pd. I (Sekjend LPTNU Kab. Malang)
Editor: Ikbar Zakariya

spot_img
spot_img
-- advertisement --spot_img

Artikel Pilihan