back to top
Senin, Juni 30, 2025

Pelita dari Botoran: Kisah Keteladanan Hj. Nyai Dewi Hajar

NU MALANG – Pagi baru saja menyapa bumi Botoran, sebuah kelurahan kecil di Tulungagung yang tenang. Mentari perlahan naik di ufuk timur, menerangi jalanan sunyi yang mengarah ke Pondok Pesantren Putri As Safiinah. Di balik gerbang sederhana itu, seorang perempuan paruh baya telah lebih dulu terjaga. Langkahnya pelan namun pasti, menyusuri lorong-lorong asrama dengan wajah teduh dan senyum hangat. Dialah Hj. Nyai Hajah Dewi Hajar sang ibu ruhani yang hidupnya didedikasikan sepenuhnya untuk ilmu, umat, dan kasih yang tak bersyarat.

Bersama Bu Nyai Hajah Chodijah, ia memikul amanah besar dari KH. Ibrahim, sang pendiri pondok. Mereka diberi kepercayaan untuk mengasuh dan membesarkan pesantren yang kini menjadi tempat bernaung ratusan santriwati. Bagi Bu Nyai Dewi Hajar, amanah ini bukan sekadar tugas administratif atau tanggung jawab manajerial. Ini adalah panggilan jiwa, perjanjian spiritual antara dirinya dengan Sang Maha Kuasa untuk menjaga warisan ilmu, akhlak, dan tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang agung.

Bu Nyai bukanlah pemimpin yang menciptakan jarak dengan umat. Ia hadir sepenuh hati sebagai pembimbing ruhani, ibu bagi para santri, dan pelita dalam gelap. Di hadapan santrinya, ia bukan sekadar pengajar kitab kuning, tetapi penanam nilai-nilai kehidupan. Ia membentuk karakter, menguatkan akhlak, dan menumbuhkan keberanian dalam diri perempuan muda untuk menjadi pribadi Muslimah yang kuat, mandiri, dan berwawasan luas.

Salah seorang santrinya pernah berkata, “Bu Nyai tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menjadi tempat kami berteduh. Beliau seperti ibu, tempat kami pulang.”

Di matanya, setiap santri adalah amanah. Ia mengenal mereka satu per satu, tak hanya nama, tetapi juga latar belakang, cita-cita, bahkan kegelisahan hati mereka. Ia membimbing bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan teladan hidup yang tulus dan konsisten.

Namun pengaruh Bu Nyai tidak terbatas di dalam lingkungan pondok. Di masyarakat Botoran, namanya dikenal luas. Ia menjadi motor penggerak dalam berbagai kegiatan keagamaan: dari pengajian ibu-ibu yang rutin, dzikir bersama Jantiko Mantab, hingga pelaksanaan peringatan hari besar Islam. Ia tidak hanya menyemarakkan, tapi juga menghidupkan ruh kegiatan tersebut. Ketika masyarakat membutuhkan arahan, Bu Nyai hadir. Ketika seseorang dirundung masalah rumah tangga, ia datang membawa ketenangan. Ketika kebingungan menghampiri warga, ia menjadi pelita yang menuntun jalan.

Apa yang membuatnya begitu dihormati bukan hanya karena ilmunya yang dalam, tapi karena cara beliau menyampaikannya—dengan kelembutan, ketulusan, dan ketenangan. Petuah-petuahnya tidak mengguruh, melainkan mengalir seperti air sejuk yang menyegarkan jiwa. Ia tidak menghakimi, melainkan mendengarkan. Tidak mencela, melainkan membimbing.

“Kalau Bu Nyai yang bicara, kami tenang,” ujar seorang ibu rumah tangga yang rutin mengikuti pengajian beliau. “Karena beliau menyentuh hati, bukan hanya pikiran.”

Kepemimpinan Bu Nyai Dewi Hajar adalah potret dari kekuatan spiritual perempuan yang dibalut dengan kerendahan hati. Ia tidak hanya membina pesantren menjadi tempat menimba ilmu, tetapi juga menjadi ruang aman bagi perempuan untuk tumbuh dan berkembang. Melalui ajarannya, ia menyampaikan pesan penting: bahwa perempuan Muslimah harus memiliki pemahaman agama yang kuat, keberanian untuk berdiri mandiri, serta keteguhan hati dalam membawa rahmat bagi semesta rahmatan lil ‘alamin.

Tak terhitung sudah berapa banyak santri yang beliau didik kini menjadi tokoh masyarakat, guru, pendakwah, bahkan penggerak komunitas di tempat masing-masing. Semua mereka membawa nilai-nilai yang ditanamkan Bu Nyai: kesederhanaan, ketulusan, dan istiqamah.

Di tengah zaman yang bergerak cepat, di mana nilai-nilai mulai memudar dan keteladanan menjadi barang langka, Bu Nyai tetap berdiri teguh. Ia menjaga pondoknya seperti menjaga taman, menyiraminya dengan ilmu, melindunginya dengan doa, dan membersihkannya dengan akhlak. Ia tidak tergoda oleh gelombang popularitas atau keinginan untuk tampil. Justru dalam keheningan dan pengabdiannya, orang-orang menemukan inspirasi sejati.

Bu Nyai membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kecil. Dari ruang belajar sederhana, dari senyum lembut yang penuh kasih, dari doa-doa yang lirih namun tulus.

Sebagai tokoh, beliau tidak pernah mencari sorotan. Namun tanpa ia sadari, dirinya telah menjadi cermin tempat banyak orang menatap harapan. Ia menjadi panggung bagi nilai-nilai luhur untuk tampil kembali di hadapan dunia. Ia telah menuliskan sejarah, bukan di lembaran kertas, tetapi dalam kehidupan nyata umat.

Ketika seseorang bertanya, seperti apa wajah seorang ulama perempuan, maka tunjukkanlah sosok Bu Nyai Dewi Hajar. Ketika generasi muda mencari teladan yang tenang, bijak, dan mampu merangkul, maka kisahkanlah tentang beliau. Ketika dunia merasa kehilangan arah, maka ingatkan bahwa dari Botoran, ada lentera yang terus menyala diam-diam menjaga cahaya peradaban agar tak padam.

Hidupnya adalah cerita yang ditulis dengan keikhlasan. Kisah tentang perempuan yang memilih jalan sunyi untuk membina umat, kisah tentang ketabahan yang tidak pernah lelah, kisah tentang cinta yang hanya ingin memberi, bukan meminta. Bu Nyai tidak hanya menjalani hidup, tetapi menghidupkan orang lain melalui ilmunya, teladannya, dan kasihnya yang tanpa syarat.

Hj. Nyai Dewi Hajar adalah lentera dari Botoran. Dan selagi lentera itu menyala, akan selalu ada jalan pulang bagi hati-hati yang merindukan cahaya.

Penulis: Salma Zaki Prasetyo
Editor: Ikbar Zakariya

spot_img
spot_img
-- advertisement --spot_img

Artikel Pilihan