back to top
Rabu, Agustus 20, 2025

Haul Akbar Masyayikh PPRU 2, Katib Syuriyah PBNU Tegaskan Pentingnya Sanad

Gondanglegi, NUMalang.id – Katib Syuriyah PBNU, KH Muhammad Faiz Syukron Ma’mun, menegaskan pentingnya menjaga sanad keilmuan sebagai ciri utama tradisi pesantren. Hal ini disampaikannya dalam acara Haul Akbar Masyayikh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Gondanglegi, Kabupaten Malang, Ahad (08/06/2025).

Dalam tausiyahnya, KH Faiz mengawali dengan menceritakan latar belakangnya sebagai anak dari ulama kharismatik, KH Syukron Ma’mun, yang terkenal sebagai singa podium pada era 1970 hingga 1980-an.

Namun meski dikenal luas dan dihormati, di hadapan putranya, sosok KH Syukron tetaplah seorang ayah yang mendidik dengan keteladanan, diskusi, dan sesekali perdebatan.

Kiai Faiz menuturkan, dirinya sejak kecil terbiasa berargumen dengan sang ayah. Akan tetapi, dalam satu hal, KH Syukron menegaskan bahwa tidak boleh ada perdebatan: yakni saat berhadapan dengan para kiai.

“Saya ini anak kiai yang lahir di Jakarta. Jadi beda dengan Gus Hamim. Kalau Gus Hamim itu ‘samikna wa athokna’, saya Gus Jakarta, ‘samikna wa pikir-pikir’. Tapi untuk urusan menghormati kiai, ayah saya bilang: ‘yang ini jangan dibantah’,” tutur Kiai Faiz disambut tawa para hadirin.

Ia mengenang masa kecilnya ketika sang ayah sering mengajaknya mengunjungi para kiai besar seperti KH Mahrus Aly Lirboyo, KH As’ad Syamsul Arifin, hingga KH Yahya.

Sebelum berangkat, ayahnya selalu berpesan: cium tangan kiai dan tatap matanya. Bahkan, dalam tradisi sebagian pesantren, jika seorang kiai meminta santri membuka mulut (dalam bahasa Jawa disebut manggap) untuk menerima ludahnya sebagai simbol keberkahan, maka harus ditaati tanpa tanya. “Itu berat untuk Gus Jakarta seperti saya. Tapi anehnya, saya tidak pernah membantah,” tambahnya.

Dalam pandangan Kiai Faiz, tradisi seperti itu tidak dapat dijelaskan dengan logika semata. Tetapi ia mulai memahami maknanya secara mendalam saat berguru langsung kepada Mufti Agung Mesir, Syekh Ali Jum’ah.

Dalam salah satu majelis khataman kitab Asy-Syamail Al-Muhammadiyah, Syekh Ali Jum’ah berkata, “Jika saya menutup kitab ini, maju dan cium tangan saya. Tatap mata saya. Karena tangan ini pernah bertemu dengan tangan guru saya, dan tangan guru saya bertemu dengan tangan gurunya, hingga sambung-menyambung sampai kepada tangan Rasulullah SAW,” terangnya.

Menurut Kiai Faiz, itulah esensi sanad: sambungan keilmuan, spiritualitas, dan akhlak dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa terputus, sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, mencium tangan guru bukan sekadar simbol penghormatan, tetapi bentuk pernyataan batin bahwa seseorang sedang menyambung keberkahan ilmu dari sumbernya yang paling mulia.

Ia menegaskan, para ulama pesantren di Indonesia khususnya yang berada di lingkungan Nahdlatul Ulama memiliki sanad yang dapat dilacak hingga Rasulullah. Meskipun tidak semua orang mengetahui detail jalurnya, tetapi umumnya jalur sanad mereka akan bertemu dengan tokoh-tokoh besar seperti KH Mahfudz Termas, KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, dan Syekh Nawawi al-Bantani di Makkah.

“Saya tidak tahu Kiai Qosim atau Kiai Kholili dulu mondok di mana. Tapi saya yakin ilmu beliau pasti nyambung kepada Rasulullah,” tegasnya. Keyakinan ini, menurutnya, bukan datang dari dugaan pribadi, melainkan dari pemahaman mendalam terhadap sistem sanad yang telah dijaga selama ratusan tahun oleh pesantren.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa banyak hal dalam dunia pesantren yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Namun justru di sanalah letak kekuatan dan keistimewaan pesantren: adanya transmisi ilmu, adab, dan spiritualitas yang tidak putus dari guru ke murid. “Itu agama kita.

Bukan sekadar menurut saya, tapi karena kata guru saya, dan gurunya, dan gurunya lagi. Semuanya sambung kepada Rasulullah,” pungkasnya. (*)

Kontributor: Moch. Miftachur Rizki

spot_img
spot_img
-- advertisement --spot_img

Artikel Pilihan