Dengan gaya sederhana dan rambut pendeknya yang memutih, Wardah Hafidz menjadi figur yang menandai kehadirannya. Tak hanya sebagai pembela kaum papa (kaum anak sekolah yang terlantar karena guru malas mengajar), namun juga sebagai ikon gerakan sosial baru yang menentang kemiskinan. Mengenal dan memahami sosok Wardah adalah langkah awal untuk meraih inspirasi dan teladan bagi generasi masa kini.
Sebagai perempuan yang memiliki karakter tomboy dari lingkungan keluarga santri, Wardah Hafidz menarik nafas pertamanya pada 28 Oktober 1952 di Jombang, Jawa Timur. Keluarganya cukup erat dengan lingkungan pesantren, dengan kakek yang menjadi Kyai saat pendudukan Jepang, dan ayahnya ulama terkemuka dari pesantren Tebuireng, cukup menciptakan latar belakang yang kaya akan nilai agama. Tak heran jika keluarga Wardah aktif menebar kebermanfaatan sebagai bentuk aksi nyata dari ilmu agama yang dimiliki.
Di beberapa literatur, Wardah menjelaskan hubungan keluarga besar dari pihak ayahnya erat kaitannya dengan pesantren Tebuireng, “Kakek Gus Dur memanggil nenek saya bibi,” Ungkap Wardah. Meskipun berasal dari keluarga santri, sejak kecil ia menunjukkan kepribadian yang berbeda dengan lingkungannya. Sebagaimana harapan setiap keluarga santri pada umumnya yakni memiliki keturunan yang taat agama, sedikit berbeda dengan sosok Wardah yang selalu menginginkan hal-hal Out of The Box. Namun, Wardah tidak pernah menjadikan keterbatasan sebagai penjara. Meskipun terpatri dalam lingkungan agama yang ketat, dia selalu merambah ke arah yang baru, melampaui batasan yang ada dalam keluarga dan lingkungannya. Di keluarga Wardah semacam ada aturan tak tertulis yang menuntut sepuluh anak untuk menyelesaikan pendidikan Islam hingga sekolah menengah, Jadilah Wardah dan saudara-saudaranya dikirim ke tempat-tempat berbeda sesuai dengan afiliasi keluarga yang bercampur aduk antara NU, Muhammadiyah, dan Masyumi. Tradisi ini tumbuh dari perpecahan golongan Islam pada tahun 1950 an, dan berujung menciptakan kisah unik antara Wardah dan para saudaranya untuk menjalani basis pendidikan yang beragam, yakni pendidikan pesantren, sekolah modern Muhammadiyah, dan pondok modern Gontor.
Aturan pendidikan keluarganya cukup menyulitkan Wardah, membatasi kebebasannya, dan membuatnya ingin melakukan langkah yang berbeda. Meski suka menyatakan keinginannya bersekolah di sekolah umum, permintaannya seringkali dihadang oleh penolakan. Meskipun dengan berat hati dikirim ke sekolah Mualimat, Wardah tetap konsisten menjadi “pembuat onar” dengan sikap tegas menentang norma-norma yang mengikatnya. Contohnya, ia belajar menaruh minatnya di bahasa Inggris sampai ia cukup mahir dalam bahasa Inggris, kemudian ia menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap bahasa Arab sebagai bentuk perlawanan terhadap tradisi keluarganya yang menganggap bahasa Arab lebih penting untuk dikuasai. Setelah enam tahun di Mualimat, Wardah memutuskan untuk mengejar pilihannya sendiri dan sudah lama diam-diam merencanakan untuk memilih jalan sekolah ke tingkat universitas. Tak lama kemudian, pintu ke dunia pengetahuan terbuka saat ia memasuki pintu gerbang IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang) dengan tekad mempelajari sastra Inggris. Namun,
perjalanan sekolahnya membuka pintu pengalaman baru yang epik, di mana ia tidak hanya mendalami ilmu, tetapi juga merangkai pengalaman mengajar dan menjadi instruktur bahasa di sekolah penerbangan Curug. Tak lama kemudian, kesenangan sebagai guru mulai pudar, dan Wardah merasa terpanggil ke dunia yang berbeda. Pekerjaan sebagai instruktur bahasa Inggris di Curug menghadirkan pengalaman yang benar-benar baru dan unik baginya. Di sana, ia merasakan dualitas antara disiplin ketat militer, yang membuatnya merasa jengah dengan formasi siswa dan hukuman fisik, serta kehidupan sosial yang meninggalkan akar tradisi dan lebih berorientasi ke Barat dengan sikap permisif. Tawaran demi tawaran untuk menjadi dosen di almamaternya cukup membuatnya ragu. Sampai akhirnya dia dihadapkan kesempatan melanjutkan pendidikan ke Amerika untuk mengambil gelar master dalam sosiologi yang membuat Wardah menyadari bahwa ini adalah panggilan yang sulit untuk ditolak.
Di bawah langit negeri Paman Sam itu, Wardah memasuki babak baru kehidupannya di Ball State University, Muncie, Indiana. Jurusan sosiologi menjadi lahan tempurnya dalam mengejar strata masternya. Di Amerika, Wardah menemukan inspirasi dalam ruang partisipasi politik yang terbuka, dan itu juga cikal bakal yang menyulut api perjuangannya. Dalam pusaran individualisme tinggi yang merenggangkan relasi sosial, Wardah semakin menghargai Indonesia yang hangat dan ramah. Pengalamannya di Amerika juga memberinya wawasan tentang kapitalisme yang menciptakan jurang sosial ekonomi yang lebar, membuka mata terhadap realitas menjadi orang miskin di tengah kelimpahan yang berlimpah.
Pada tahun 1993, Wardah terjun ke dunia aktivisme kaum miskin kota melalui penelitian di Jelambar Baru, Jakarta Utara, di tengah gejolak ekonomi Indonesia yang sedang meroket. Saat itu, ketidakadilan dan kemelaratan yang diabaikan negara mendorongnya untuk memberontak. Dengan kesadaran akan kompleksitas kemiskinan kota, Wardah tidak hanya melihat, tetapi juga beraksi untuk mengubah keadaan. Upayanya untuk mengembalikan hak-hak kaum miskin agar lebih kritis dan paham akan haknya membuatnya dianggap provokator oleh pemerintah, mendapat permusuhan, namun ia tak gentar. Dari pengalaman lapangan itu, Wardah bersama rekan-rekannya mendirikan UPC (Urban Poor Consortium) dengan tujuan utama membangkitkan gerakan rakyat. “Kami memilih kemiskinan kota sebagai fokus untuk meletakkan isu ini dalam peta politik dan kebijakan publik, menganggap rakyat miskin kota sebagai pelaku strategis untuk perubahan,” papar Wardah.
Perjuangan Wardah dalam membela kaum miskin kota di Indonesia mencapai puncaknya saat negara menerapkan developmentalisme dalam pembangunan. Konsekuensi dari paradigma pembangunan yang terfokus pada aspek fisik adalah maraknya proyek-proyek megah di setiap kota yang seringkali warga kota sebagai korban. Aksi Penggusuran, penertiban, dan tindakan represif lainnya sering diarahkan kepada golongan miskin kota, merampas bukan hanya harta benda, tetapi juga masa depan, bahkan nyawa. Dalam pemikiran Wardah, ia menolak istilah “menggusur orang miskin,” “agama di Indonesia,” dan “pembangunan di Indonesia.” Wardah lebih setuju dengan konsep “menggusur kemiskinan,” “agama Indonesia,” dan “pembangunan Indonesia.” Tapi kali ini penulis hanya lebih fokus memaparkan alasan penolakan pada istilah “menggusur orang miskin” saja. Baginya “menggusur orang miskin” dari hak dasarnya adalah kesalahan yang telah berlangsung terlalu lama. Perlawanan seharusnya ditujukan pada penghapusan kemiskinan, bukan pada orang-orang miskin. Namun, budaya pembangunan yang keliru ini terus berlanjut dan mengakar dalam masyarakat, sehingga hak-hak orang miskin sebagai penduduk Indonesia belum terpenuhi bahkan hingga saat ini. Termasuk juga dengan istilah “pembangunan di Indonesia” yang melahirkan bayangan akan rencana megah yang menjalar di seluruh dunia. Bagi Wardah, istilah itu bukan sekadar lambang, melainkan manifestasi upaya kita dalam pembangunan, dengan segala khas yang mengakar di Indonesia. Melalui pandangan ini, Wardah menyadari bahwa perubahan dan perlawanan terhadap status quo tidak hanya berkutat pada realitas, tetapi juga simbolisme dalam bahasa dan istilah. Karena keduanya mencerminkan pola pikir yang akan mempengaruhi tindakan.
Selain aktif di lapangan, Wardah juga menyumbangkan karyanya dalam bentuk tulisan. Ia menerjemahkan karya-karya seperti “Tokugawa Religion” karya Robert Bellah dan “City of Joy” yang menceritakan kisah cinta, kepahlawanan, dan harapan di tengah kemiskinan di Calcutta, India, karya Dominique Lapierre. Sebelum merambah ke isu kemiskinan, wardah banyak memberikan sumbangsih pada dunia literasi melalui artikel, esai dan penelitian. Namun, setelah menjadi aktivis, fokus Wardah berubah, penanya tak lagi digenggam dan lebih memilih fokus pada aksi lapangan daripada gubahan kata.
Sebagai pribadi yang menjalani hidup dan masih terus berjuang, sosok Wardah tergambar dengan citra inspirator yang melintasi batas-batas perjuangan. Cara pandangnya mengejawantahkan nilai-nilai keadilan dan kedaulatan dengan membela kaum miskin kota dari ketidakadilan negara yang menjadi pusat perhatiannya selama ini. Dengan harapan Indonesia benar-benar sebagai tempat untuk berkeadilan sosial sesuai sila ke-5 yang selalu digaungkan seluruh bangsa ini. Sekian.
Penulis: Zakiya Nafsiyah
Mahasiswa Universitas Negeri Malang
Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. – Imam Al-Ghazali