Jumat, September 20, 2024
spot_img

Membumikan Aswaja Sebagai Manhajul Hayah

Lahirnya Aswaja tak terlepas dari lahirnya Organisasi Masa (Ormas) Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur pada tahun 1926 M. Saat itu, Hadrotussyaikh K.H. Muhammad Hasyim Asyarie secara tegas memilih ideologi Aswaja sebagai ideologi NU sebagai antitesis gerakan purifikasi yang dilakukan kaum modernis. Tatkala menganut Aswaja sebagai madzhab, seseorang hanya menjalankan doktrin Aswaja. K.H. HAsyim Asy’arie menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran Aswaja. Dalam urusan akidah mengikuti Imam Abu Hasan Asyarie dan Al-Maturidi. Bidang ubudiyah mengikuti salah satu imam madzhab fiqih. Bidang tashawuf mengikuti salah satu dari dua imam, yakni Junaidi al-Bagdadi atau Muhammad al-Ghazali. Konsep Aswaja kala itu adalah sebagai madzhab, mengingat NU lahir di tengah-tengah rakyat pedesaan dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah tentunya. Rakyat hanya butuh doktrin yang mudah dipahami tanpa perlu pemikiran lebih lanjut, artinya Aswaja saat itu diposisikan sebagai mahzab bukan manhaj.

Seiring dengan perkembangan zaman dan permasalahan umat yang semakin kompleks maka saat ini Ahlus Sunah Waljamaah (Aswaja) bukan hanya sebagai madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan, inilah makna aswaja sebagai Manhaj al-Fikr  (metodologi berfikir).

Doktrin aswaja sebagai Manhaj al-Fikr mempunyai nilai substansi yang universal, mencakup segalanya. Hal itu bisa dilihat dari nilai- nilai dasar Aswaja yaitu Tawasuth, Tawazun, Tasamuh, Ta’adul. Tawasuth berasal dari kata wasatho artinya tengah-tengah; hal ini berarti memahami segala bentuk ajaran Islam senantiasa berpedoman pada nilai-nilai kemoderatan. Tawazun mempunyai makna seimbang, setiap langkah dalam sendi kehidupan beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam, Hablumminallah, hablumminannas, hablumminal ‘alam. Tasamuh mempunyai makna toleransi; artinya dalam menyikapi keberbedaan dan kemajemukan yang ada baik suku, agama, ras, senatiasa dengan prinsip toleransi.Ta’adul berasal dari kata “adala” yang artinya adil, adil disini dimaknai bukan berarti harus sama, setara. adil disini dimaknai sesuai pada tempatnya dan kebutuhannya.

Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa umat Islam terutama warga Nahdliyin prinsip tawasuth digunakan dalam  cara atau proses berfikir, Kemudian tasamuh digunakan dalam bersikap, selanjutnya tawazun digunakan dalam bertindak, ketika semuanya sudah diterapkan secara proporsional maka yang terakhir akan muncul i’tidal yakni adanya kehidupan yang penuh dengan keadilan, jika ini benar-benar bisa dicapai maka Indonesia makmur, adil dan sejahtera akan segera terwujud. Inilah yang dimaksud dengan ASWAJA sebagai manhajul hayah  (metodologi dalam menjalani kehidupan) yang harus benar-benar bisa diterapkan oleh warga nahdliyin khususnya dan seluruh umat manusia Indonesia secara umum  jika benar-benar menginginkan kehidupan yang damai, harmonis ditengah-tengah kemajemukan ini.

Dari sini jelas bahwa penerapan ASWAJA ( Ahlussunnah Wal Jama’ah)  ala Nahdliyah tidak hanya digunakan sebagai Manhajul Fikr (metodologi berfikir) saja, melainkan jika menghendaki kehidupan yang harmonis, berkemakmuran dan berkeadilan dengan berbagai kemajemukan yang ada, maka penerapan ASWAJA sebagai Manhajul Hayah (metodologi dalam menjalani kehidupan) ini sangat signifan  untuk dijalankan secara istiqomah (secara rutin / ajeg).

Penulis: DrNoer RohmahM.Pd.I

Dosen STIT Ibnu Sina Kepanjen – Sekretaris LPT-PCNU Kab. Malang – Dewan Pakar PC Muslimat NU Kab. Malang

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
-- advertisement --spot_img

Jangan Lewatkan

Terkini