Kamis, September 19, 2024
spot_img

Urgensi Fiqh Bi’ah Untuk Kelestarian Lingkungan

Oleh: Ust. Sundoko (Ketua LBM MWCNU Kecamatan Wagir Kabupaten Malang)

Kesadaran akan lingkungan hidup sudah tidak dapat terelakkan lagi, mengingat kondisinya yang semakin hari semakin tambah parah. Hal ini tentu memicu intelektual agama untuk ikut berperan aktif dalam menanggulangi rusaknya lingkungna tersebut. Mau tidak mau, dengan kondisi lingkungan yang mengerikan ini, fiqh bi’ah sudah seharusnya menjadi bagian ilmu tersendi. Dimana, sebelumnya ia juga include dalam kebanyakan cabang pembahasan fiqh klasik, seperti keharaman mencabut tanaman dan membunuh hewan dalam bab ibadat, ihya al-mawa dalam bab mu’amalat, memberi nafkah pada istri dan hewan piaraanya dalam bab munakahat, dan lain sebagainnya.

Yusuf Qardawi dalam kitab monografnya, Ri’ayah al- Bi’ah fi Syari’ah al -Islamiyah. (merusak lingkungan berarti mengabaikan maqasid al-syari’ah sepenuhnya/ifsad al bi’ah ido’ah li maqasid al Syariah).

Definisi

Fiqh lingkungan dalam literatur Islam dikenal dengan fiqh bi’ah yang secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu term fiqh dan bi’ah. Fikih ( fiqh ) secara Bahasa adalah paham atau memahami. Sedangkan secara istilah adalah sekumpulan atau pengetahuan hukum-hukum praktis syariat yang diperoleh dari dalil-dalil lokal ( al-adillah al-tafs iliyyah ).

Bi’ah secara Bahasa berarti suatu kondisi dan tempat. Berdasarkan kamus Bahasa arab, secara istilah memiliki tiga makna menurut qaul arjah. ( Al-bi’ah wa al-bu’d al-Islami:25).

Pertama, tempat yang dihuni dan dipilih sebagai tempat tinggal untuk diri sendiri, biasanya berada di lereng gunung atau dekat sungai agar aman dari hujan yang bertiup angin kencang, atau lumrahnya juga berada di dekat air agar bisa memenuhi diri dan hewan piaraannya.

Kedua, situasi baik dan adakalanya buruk. Bisa berarti juga sesuatu untuk menempuh situasi tersebut yang masing-masing berkenaan dengan perekonomian, mata pencaharian dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti sehat, sakit, kuat, lemah, dsb.

Ketiga, ciptaan secara umum teruntuk manusia dalam semua urusannya. Dan makna inilah yang lebih layak bagi istilah bi’ah. Sementara menurut Yusuf Qardawi kata bi’ah sendiri yang sebenarnya jauh dari defnisi estimologi dan terminology adalah suatu kondisi ataupun tempat manusia hidup. Disadari atau tidak, kondisi atau tempat tersebut merupakan referensi puncak dan tempat menetap manusia secara pasti. ( Ri’ayah al Bi’ah fi Syari’ah al Islami:12 )

Sedangkan unsur-unsur pokok lingkungan ada empat bila manusia dikecualikan dari sebagian unsur tersebut lantaran manusia sendiri menjadi sumber utama dalam melestarikan unsur-unsur lainnya. Empat unsur ini diklarifikasi lagi menjadi dua. Pertama, unsur-unsur yang bisa dikontrol manusia seperti tanah, air, dan api.kedua, unsur yang tidak bisa dikontrol secara langsung oleh manusia, yaitu udara. ( Al Bi’ah wa al bu’d al-Islami:42)

Dua term tersebut disusun secara idafah yang masuk kategori bayaniyyah ( kata kedua/mudaf ilaih sebagai keterangan dari kata pertama/mudaf). Dengan demikian, kata lingkungan merupakan penjelasan fikih sekaligus sebagai tujuan dari kajian fikih tersebut. Gagasan fikih lingkungan dapat diartikan sebagai seperangkat norma-norma tentang perilaku ekologis manusia yang ditetapkan oleh ulama kontemporer berdasarkan dalil yang terperinci untuk kemaslahatan kehidupan yang bernuansa ekologis.

Objek kajian

Objek kajian fiqh al -bi’ah harus mencakup seluruh permasalahan lingkungan yang pada dasarnya adalah sbb:

Pertama, pengenalan “ anatomi” lingkungan ( seluk-beluk bagian fisik dan hubungannya dengan apa  yang dibahas dalam ekologi dan disiplin-disiplin terkait ). Seperti sungai, laut, hutan, gunung, air, tanah, udara, dan keseimbangan ekosistem, termasuk makhluk hidup ( organisme ) di dalamnya, seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.

Kedua, konservasi ( ri’ayah ) sumber daya alam. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ala mini dilakukan secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya.

Ketiga, pemulihan atau rehabilitasi lingkungan yang sudah rusak. Khazanah fikih klasik telah memiliki andil dalam hal ini, semisal tentang tanah dalam konsep ihya al mawat. Akan tetapi, problem-problem lingkungan tidak hanya terbatas pada hal itu, melainkan lebih luas. Seperti penanganan pencemaran udara, kepunahan binatang atau spesies tumbuhan tertentu, pencemaran air ( sementara fikih klasik hanya bersifat penanganan “ konsumtif” untuk  ibadah, seperti pemilahan air-air yang bisa digunakan untuk bersuci dan yang tidak ). Padahal semua yang menentukan kesempurnaan pelaksanaan kewajiban juga menjadi wajib ( maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa waajib).

Prinsip-prinsip dasar

Kajian fikih lingkungan ini berawal dari emban tanggung jawab manusia sebagai khalifah. Untuk mengetahui bagaimana manusia sebagai khalifah dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai pemakmur bumi bukan penguasa bumi- Yusuf Qardawi merumuskan beberapa prinsip etika lingkungan yang berdasarkan Islam ( Islamic ecoreligious). Prinsip-prinsip ini mencakup lima hal:

  1. Prinsip hormat terhadap alam.
  2. Prinsip tanggung jawab
  3. Prinsip kasih saying dan kepeduliaan
  4. Prinsip kesederhanaan tidak konsumtif-eksploitatif
  5. Prinsip keadilan dan kebaikan.

Sedangkan prinsip-prinsip dasar kewajiban pemeliharaan lingkungan hidup menurut KH. Ali Yafie di dalam bukunya, merintis fikih lingkungan hidup ada enam, yaitu :

  1. Perlindungan jiwa raga ( hifd al nafs) adalah kewajiban utama.
  2. Kehidupan dunia bukan tujuan. Kehidupan dunia adalah titipan menuju kehidupan akhirat yang kekal.
  3. Produksi dan konsumsi harus sesuai dengan standar kebutuhan layak manusia ( haddu al kifayah ).
  4. Keselarasan dan keseimbangan alam ( ekosistem ) mutlak ditegakkan. Mengganggu dan merusak ekosistem sama dengan menghancurkan kehidupan seluruhnya.
  5. Semua makhluk adalah mulia ( muhtarram ). Siapa saja dilarang mengeksploitasi semua jenis makhluk yang menyebabkan kehidupannya terganggu.
  6. Manusia adalah pelaku pengelolaan alam semesta yang menentukan kelestarian kehidupan. Segala tindakannya akan dimintai pertanggung jawaban baik didunia maupun diakhirat.

Dalil-dalil fikih bi’ah

  1. Larangan mencemari lingkungan

عن ابي هريرة ان ر سول الله صلى الله عليه و سلم قال اتقو اللاعنين قالوا وما اللاعنان قال الذي يتخلى في طريق الناس او في ظلهم

Artinya : “ dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw bersabda, “jauhilah dua perbuatan yang mendatangkan laknat!” Sahabat-sahabat bertanya, “ Apakah dua perbuatan yang mendatangkan laknat itu? “ Nabi menjawab, “ Orang yang buang air besar di jalan umum atau di tempat berteduh manusia.”

و قال لا يبولن احدكم في الماء الدائم الذي لا يجري ثم يغتسل فيه

Artinya : “ Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Saw bersabda, “ Janganlah seorang dari kalian kencing di air tenang yang tidak mengalir kemudian mandi didalamnya”.

  1. Larangan terhadap perbuatan yang dapat menimbulakn mudarat atau merugikan yang lain

عن ابن عباس رضيالله عنهما : ان النبي صلى الله عليه وسلم  قال :لا ضرر ولا ضرار

Artinya : “ dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw bersabda, “ Tidak boleh menimbulkan kemudharatan atau membalas kemudharatan dengan kemudharatan”.

  1. Larangan memotong tumbuhan tanpa alas an yang jelas.

عن عبد الله بن حبشي رضي الله عنه قال:قال  رسول الله صلي الله عليه و اله و سلم: من قطع سدرة صوب الله راء سه في النار سئل ابو داود عن معنى هذا الحديث ، فقال :هذاالحديث مختصر، يعني: من قطع سدرة في فلاة يستظل بها ابن السبيل والبهائم عبثا وظلما بغير حق يكون له فيها صوب الله رئسه في النار

Artinya : Dari Abdullah bin Habasyi berkata, “ Rasulullah saw bersabda, “ Barangsiapa yang menebang sebatang sidr ( sejenis podon obat ), Allah akan menundukkan kepalanya di dalam neraka.” Imam Abu Dawud ditanya tentang makna hadist ini. Abu Dawud berkata, “ Hadist ini singkat. Artinya, barang siapa yang menebang pohon sidr yang biasa dipakai berteduh musafir atau binatang di padang pasir, tanpa alas an yang jelas atau secara aniaya, Allah akan menundukkan kepalanya di neraka”.

  1. Perintah menanam tumbuhan

حدثنا و كيع حدثنا حماد بن سلمة عن هشام عن انس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  ان قامت على احدكم القيامة وفي يده فسلة فليغرسها

Artinya :” Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda” Apabila besok hari kiamat terjadi, sementara di antara kalian ada yang memegang sebuah benih tanaman di tanganya, maka hendaklah ia menanamnya”.

Dengan konsiderasi-konderasi di atas ulama memberi keputusan hukum fardhu ‘ain bagi mukalaf untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Hal ini juga berdasarkan inti dari maqashid al -syari’ah seperti telah dikemukakan oleh Yusuf Qardawi dalam kitab monografnya, Ri’ayah al- Bi’ah fi Syari’ah al -Islamiyah, ( merusak lingkungan berarti mengabaikan maqasid al-syari’ah sepenuhnya/ ifsad al-bi’ah li maqasid al syari’ah )

Sementara itu ulama lainnya cenderung menghukumi fardhu kifayah, yakni semua mukallaf dikenai sanksi atau dosa senyampang belum ada yang terus berupaya mengkonservasi dan merestosi alam agar tidak tercemar.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
-- advertisement --spot_img

Jangan Lewatkan

Terkini